Adaptasi Kehidupan Baru; Doa Untuk Alam Semesta

- 8 Oktober 2020, 23:39 WIB
/Heriyanto Retno

PORTAL BANDUNG TIMUR - “The emotions are stirred and take form in words.If words are not enough, we speak in sighs. If sighs are not enough, we sing them. If singing is not enough, then unconsciously, our hands dance them and our feet tap them. (Emosi bergerak dan membawa bentuk kata-kata.

Jika kata-kata tidak cukup, kita berbicara dalam desahan. Jika mendesah tidak cukup, kita menyanyikannya. Jika menyanyi tidak cukup, maka secara tidak sadar tangan kita menarikan emosi dan kaki kita menekan emosi itu),” ujar Deden Tresnawan mengutip rangkaian kata dari “The Book of Songs” yang diungkapkan Lim Hwai Ming Direktur Cloud Dance pada Antologi Puisi Cina yang berasal dari 10 hingga abad ke-7 SM.

Rangkaian kata-kata Lim Hwai Ming ini pula yang menguatkan Deden Tresnawan yang akrab disapa Deden Bulenk mengajak rekan-rekannya dari Komunitas Jaringan Masyarakat Seni Nusantara untuk merespon alam disaat pandemi corona masih belum kunjung berakhir.  Lewat “Adaptasi Kehidupan Baru; Doa Untuk Alam Semesta”,  tujuh orang penari dan lima orang pemain musik merespon susana alam pegunungan di Benteng Belanda Pasir Ipis, Jayagiri, Lembang Kabupaten Bandung Barat.

//Neda Agung sanpurasun ka Gusti nu welas asih/pangriksa sakabeh alam/nu kagungan usik malik sim abdi saparakanca/ ngidungkeun paneda Gusti//Bul kukus ka awun awun menyan putih nitis hurip/dupa sekar pangawasa/hilir ka tapis wiring, nyambuang ka awing-awang/wangi seungit ngadalingding//.

Baca Juga: 153 WBTB Ditetapkan Kemendikbud, 11 WBTB Dari Jawa Barat

“Kidung Bubuka” dilantunkan juru tembang Sri N’ci Rejeki menjadi  sebuah suguhan lantunan doa ditengah wabah virus Corona yang tidak tentu kapan akan berakhir. Suara jentreng kecapi dan tarawangsa mengiringi juru tembang, bersahutan dengan suara nyaring serangga tonggeret dan turaes.

Benteng Belanda Pasir Ipis yang dibangun tahun 1891-1930 dipunggung Gunung Tangkuban Perahu, bagi Deden dan rekan-rekannya, merupakan tempat yang sangat tepat untuk mengungkapkan untaian doa melalui gerak tubuh.

Gerak tubuh yang gemulai mengimbangi suara binatang-binatang hutan Pasir Ipis dan sesekali jentreng kecapi dan gesekan tarawangsa tentang kepasrahan akan suatu keadaan. Tubuh yang ada dan tidak ada, kesadaran akan keberadaan dan ketidak beradaan menjadi suatu yang tidak  dapat diubah, dikoreksi, dihapus atau terhapus jika kita memilih untuk membuang semua pikiran logis.

Baca Juga: Mata Pengacara: Proses Pengadilan Bagian Perdata

“Kalau kita sebagai umat yang beriman, haruslah diyakini bahwasannya  kemunculan wabah virus corona merupakan siklus peralihan alam semesta. Yaitu peralihan masa gelap menuju sebuah era baru yang lebih baik, Sang Kuasa telah mengatur semua siklus dan tatanan kosmik lewat kecerdasan di balik gerak alam semesta ini, sebuah kesadaran maha tinggi yang mengatur detak jantung alam semesta, tarikan napas manusia, hewan, fotosintesa tumbuhan, sampai munculnya virus dan segala jenis kuman yang hadir sebagai bagian dari alam semesta,” dalam untaian narasi yang disuarakan seperti guman.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x