Sinematek Indonesia; Ruang Dalam Kesunyian

- 18 Oktober 2020, 11:15 WIB
Jika kita bicara soal lembaga pengarsipan film di Indonesia, maka tak luput dari tokoh ini; Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin,  Misbach Yusa Biran, dan Adisurya Abdy yang berkutat, berjuang dan menjalankan Sinematek Indonesia. Ali Sadikin mendukung lahirnya lembaga arsip film, Misbach Yusa Bira pencetus dan sekaligus melahirkan serta melakoni lembaga yang punya harapan terhadap kearsipan film, dan Adisurya Abdy adalah melanjutkan serta melakoni dengan visi dan misi pengarsipan film dengan sentuhan  kekinian meski tetap ‘kesunyian’.***
Jika kita bicara soal lembaga pengarsipan film di Indonesia, maka tak luput dari tokoh ini; Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Misbach Yusa Biran, dan Adisurya Abdy yang berkutat, berjuang dan menjalankan Sinematek Indonesia. Ali Sadikin mendukung lahirnya lembaga arsip film, Misbach Yusa Bira pencetus dan sekaligus melahirkan serta melakoni lembaga yang punya harapan terhadap kearsipan film, dan Adisurya Abdy adalah melanjutkan serta melakoni dengan visi dan misi pengarsipan film dengan sentuhan kekinian meski tetap ‘kesunyian’.*** /Agus Safari

PORTAL BANDUNG TIMUR.-

Sinematek Indonesia
Sinematek Indonesia Agus Safari

SINEMATEK Indonesia, adalah lembaga non pemerintah sebagai lembaga pengarsipan film yang terletak di Jakarta, tepatnya di gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) di Jalan HR Rasuna Said, Kavling C22 lantai IV, Kuningan, Jakarta Selatan, sementara untuk perpustakaan berada di lantai lima dan ruang penyimpanan arsip film di basement.

Lembaga yang konon menjadi arsip film pertama se Asia Tenggara ini sejak didirikan 20 Oktober 1975 masih tetap saja dengan kesahajaannya dan ringkih menapaki dunianya sendiri, yaitu ruang yang terlupakan.

Pengolahan Data Film
Pengolahan Data Film Agus Safari

Perbincangan penuh visi dan hangat bersama mantan Kepala Sinematek Indonesia Adisurya Abdy merupakan kesadaran tersendiri dalam memahami sebuah lembaga sebagai Pusat Arsip dan Data Film. Mulai dari karyawan dalam jumlah di bawah hitungan 5 orang; membersihkan, memelihara, memantau roll film dari serangan jamur dan kerusakan karena faktor teknis lainnya.

Baca Juga: Melancong ke Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi

2.700 film koleksi yang dimiliki tidak mudah didapatkannya, bahkan pernah meng-copynya dari Belanda karena di negara tersebut tersimpan film klasik Indonesia dekade 1930an, dan tentu saja mahal sekali pembiayaannya saat Sinemeatek Indonesia ingin memilikinya.

Jumlah karyawan yang sangat minim merawat dan memelihara arsip film, kliping, skenario, buku, poster, peraturan film dan peralatan jadul untuk produksi film seperti lampu, proyektor, kamera seluloid, dan peralatan editing analog yang biasa digunakan untuk cek rol film yang tersimpan dengan baik di laboratorium, tentu saja jumlahnya mencapai belasan ribu dokumentasi. Lantas mereka pun di sebut orang-orang majenun (gila).

Halaman:

Editor: Agus Safari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x