Kabita Berbuat Kebaikan, Positif bagi Peningkatan Kualitas Jiwa

- 4 Juni 2023, 21:12 WIB
Masjid Jami Al Fath. Ustad Aam Nurhakim mengisi siraman rohani pada  Ceramah Subuh Mingguan Dewan Keluarga Masjid Al Fath,  Komplek Panghegar Permai RW 04 Kelurahan Mekarmulya Kecamatan Panyileukan Kota Bandung, Minggu, 4 Juni 2023.
Masjid Jami Al Fath. Ustad Aam Nurhakim mengisi siraman rohani pada Ceramah Subuh Mingguan Dewan Keluarga Masjid Al Fath, Komplek Panghegar Permai RW 04 Kelurahan Mekarmulya Kecamatan Panyileukan Kota Bandung, Minggu, 4 Juni 2023. /Foto: Portal Bandung Timur/Ari Prianto Teguh/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Iri terhadap kebaikan orang lain disebut dalam istilah ghibthoh. Ghibthoh sendiri akan memacu motivasi atau bergeraknya diri seseorang berbuat kebiakan sama seperti orang lain itu atau bahkan melebihinya. Kondisi hati semacam ini bernilai positif terutama dalam upaya membangun jiwa berkualitas.

Dalam lingkungan orang Sunda, ghibthoh itu bisa disebut juga dengan sebutan "kabita". Kabita atau tertariknya seseorang  melakukan suatu kebaikan tertentu setelah ia melihat seseorang melakukan atau memiliki sesuatu kebaikan tersebut.

Ustad Aam Nurhakim menyampaikan hal demikian dalam sesi Ceramah Subuh Mingguan Dewan Keluarga Masjid (DKM) Masjid Al Fath, Komplek Panghegar Permai RW 04 Kelurahan Mekarmulya Kecamatan Panyileukan Kota Bandung, Minggu, 4 Juni 2023.

Baca Juga: Muslim Tak Tunaikan Zakat Fitrah, Begini Ancamannya dalam Islam

Menurut Ustad Aam Nurhakim, ghibthoh sebagai sebuah istilah Bahasa Arab, merujuk kepada pengertian iri hati positif. Ghibthoh memiliki arti iri hati seseorang terhadap nikmat milik orang lain. Kemudian seseorang tersebut  menginginkan nikmat serupa bagi dirinya setelah ia melihat atau memperhatikan sesuatu kenikmatan orang lain secara positif. Sikap ini baik bagi pembangunan jiwa seorang muslim.

Dalam sebuah pemahaman lain, kata  Ustad Aam Nurhakim, ghibthoh itu mampu mendorong umat dalam suatu lingkungan senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan.

"Hanya saja, lingkungan dimaksud tersebut tentunya adalah lingkungan tepat dan terkondisikan. Kebaikan seseorang itu terkadang menjadi sumber cacian atau bahan olok-olok apabila diterapkan pada lingkungan kurang tepat. Misalnya saja, saat tiba waktu solat, seseorang bergegas melaksanakan solat dan mengajak kepada orang lain di sekitarnya, dua kemungkinan bakal terjadi apakah lingkungan merespon ajakan itu sebagai suatu motivasi pendorong orang-orang segera berbuat amal baik atau sebaliknya, lingkungan malah mencaci atau mengolok-olok ajakan solat atau kebaikan tersebut," kata Ustad Aam Nurhakim.

Baca Juga: Ayo Jumatan, Jangan Sampai Dibutakan Hari dan Jauh Rezeki

Jelas berbeda sekali, Ustad Aam Nurhakim melanjutkan, bahwa inisiatif mendorong seseorang agar berbuat kebaikan itu, meniscayakan kita untuk pintar juga menempatakannya dalam keadaan seperti apa dan situasi bagaimana.

Dalam sebuah penelusuran keterangan lain, Portal Bandung Timur merujuk kepada sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW dalam tafsir Al Misbah Quraish Shihab, diriwayatkan Abu Rozzak melalui ibnu Umayyah bahwa Nabi SAW, bersabda, “Seseorang tidak dapat menghindar dari tiga hal, Ath Thiyaroh (pesimis karena melihat sesuatu), su’udzhon (berprasangka buruk) & hasad (iri hati). Karena itu, jika engkau pesimis jangan diikuti, jika berprasangka buruk jangan mencari tahu dan jika iri hati jangan menganiaya (yakni jangan cetuskan isi hati dalam bentuk ucapan atau pun perbuatan".

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x