PORTAL BANDUNG TIMUR - Sebuah bangunan yang tiada beda dari bangunan di sekitarnya berdiri tegak di tengah-tengah pemukiman warga di Jalan Staat Spoors, Desa dan Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Bangunan yang sudah sangat jelas telah di makan usia, namun tidak terlihat seperti sebuah bangunan yang diistimewakan dan tidak pula terlihat seperti bangunan yang ditelantarkan.
Berdasarkan papan yang terpasang, bangunan tersebit dijadikan sebagai kantor organisasi Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI) untuk mengadakan perkumpulan. Namun belakangan ini difungsikan sebagai Kelompok Bermain (KOBER).
Siapa sangka bahwa bangunan biasa di kenal masyarakat sekitar dengan sebutan Kantor PEPABRI ini adalah bangunan peninggalan pemerintah Hindia Belanda. Dari papan yang sudah usang masih terlihat tulisan ‘TANDJOENGSARI 885’, hal ini menegaskan bahwa gedung tersebut adalah Eks Gedung Stasiun Tanjungsari.
Baca Juga: Stasiun Remise, Pesona Sisa Kejayaan Pabrik Gula Jatibarang Brebes
Berdasarkan cerita dari ulut ke mulut, juga nama jalan memanjang yang terletak tepat di depannya dikenal dengan Jalan Staat Spoors. Warga setempat singkat dengan Jalan SS.
Sebagai sebuah jejak kolonialisme di tanah Tanjungsari, bangunan ini tidak menonjolkan ciri khas tertentu dalam segi arsitekturnya. Namun sebuah papan nama usang yang masih menempel di badan kanan atas bagunan tersebut menunjukkan bahwa bangunan ini telah lama didirikan.
Dari tulisan ‘TANDJOENGSARI 885’, yang tertera papan di tempel di tembok bagian atas bangunan., dapat terbukti bahwa papan nama tua itu dibuat sejak sebelum tahun 1947. Dimana ejaan lama masih berlaku dan ejaan republik belum diresmikan. Sehingga tulisan yang dewasa ini umumnya dibaca dengan ‘u’ pada masa itu ditulis dengan ‘oe’.
Baca Juga: Goa Jepang Kampung Karamat Gunung Sadu Nasibnya Kini
Terlepas dari terbuktinya PEPABRI sebagai bangunan bersejarah, menurut informasi yang beredar stasiun yang hampir 200 tahun nonaktif ini hendak difungsikan kembali. Selentingan itu berlangsung selama bertahun-tahun, memupuk kecemasan dan kebingungan warga setempat akan kehilangan tempat tinggalnya.
Beberapa diantaranya mulai membangun rumah atau mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di daerah yang tidak beresiko terkena dampak pembagunan kembali. Beberapa lainnya hanya dapat pasrah menunggu kepastian dari proyek pemerintah.