Jelang Puncak Musim Penghujan, Perasaan Pengrajin Bata Merah Bercampurbaur Antara Gembira dan Sedih

- 24 Januari 2021, 11:00 WIB
WIWIN (38) pengrajin bata merah di Kampung Babakan Ciparay, Ds. Rancakasumba, Kec. Solokanjeruk, Kab. Bandung saat melakukan proses pembakaran bata merah di lionya dalam upaya mencari nafkah sekaligus mempertahankan warisan dan juga pamor batamerah Solokanjeruk Kabupaten Bandung.
WIWIN (38) pengrajin bata merah di Kampung Babakan Ciparay, Ds. Rancakasumba, Kec. Solokanjeruk, Kab. Bandung saat melakukan proses pembakaran bata merah di lionya dalam upaya mencari nafkah sekaligus mempertahankan warisan dan juga pamor batamerah Solokanjeruk Kabupaten Bandung. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

Meski proses pembuatan bata merah sudah dibantu mesin, pembuatan bata merah mulai dari mengambil tanah di pinggiran sungai Citarum hingga menjadi bata merah siap angkut, saat ini membutuhkan waktu antara 3 hingga 5 bulan.

Setelah melalui proses panjang selama 3 hingga 5 bulan, bata merah asal Solokanjeruk dan sekitarnya baru bisa dipanen. Bata merah asal Solokanjeruk dan sekitarnya saat ini dihargai Rp 300 ribu untuk setiap 1000 bata bila musim panas, sementara bila musim penghujan harga bata merah bisa mencapai Rp 500 ribu untuk setiap 1000 bata.

Saat ini pamor bata merah Solokanjeruk dan sekitarnya yang lebih dikenal dengan nama bata merah Majalaya, mulai tergeser bata merah produksi Kab. Garut dan Majalengka, bahkan bata merah dari Cililin. Hal ini ditenggarai dengan semakin buruknya kualitas tanah sedimentasi sungai Citarum.

Baca Juga: KNPI Majalaya Bagikan 1.200 Masker Malam Hari, Penerapan Prokes Malam Hari Jarang Disentuh  

Meski belum ada penelitian resmi, namun masyarakat sekitar aliran sungai Citarum mulai dari Kec. Majalaya, Solokanjeruk, Tegalluar, Ciparay dan Bojongsoang, banyak mengeluhkan kondisi tanah bahan baku bata. “Dulu untuk membuat bata merah tidak pernah dicampur apapun, sekarang agar bata tidak hancur setelah dibakar harus dicampur tanah liat (tanah lempung),” ujar Wiwin menambahkan.

Meski harus mengeluarkan banyak ongkos untuk memproduksi bata merah. Para pengrajin bata merah di sepanjang aliran sungai Citarum sepertinya tidak memiliki pilihan lain, karena selain pekerjaan yang dilakoni merupakan warisan turun temurun, merekapun tidak memiliki sawah tanah garapan, dan kalaupun harus bekerja di pabrik tidak memiliki koneksi. Akhirnya meneruskan warisan leluhur membuat bata merah menjadi pilihan. (heriyanto)*** 

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x