Penyakit Mental Mudah Menyerang Generasi Milenial dan Gen Z

16 November 2020, 09:56 WIB
Ilustrasi generasi milenial. /Pixabay/Quinn Kampschroer/

PORTAL BANDUNG TIMUR – Kondisi kesehatan perilaku depresi berat dan hiperaktif lebih rentan menyerang generasi milenial dan gen Z. Dibanding generasi sebelumnya generasi kelahiran antara 1981 hingga 1996, dan kelahiran 1997 hingga 2012, mudah terkena penyakit mental.

Dalam penelitiannya, asosiasi Blue Cross Blue Shield (BCBS) milenial berusia 34 hingga 37 tahun di Amerika Serikat memiliki tingkat kesehatan 11 persen lebih rendah. Penelitian terrhadap 55 juta milenial memiliki tingkat kesehatan milenial lebih rendah dari generasi sebelumnya pada usia yang sama.

Sedangkan sebuah penelitian oleh The Harris Poll mewakili Asosiasi Psikologi Amerika (APA), mengungkapkan gen z, 27 persen lebih mungkin melaporkan memiliki keadaan mental yang buruk, dibanding generasi sebelumnya.

Baca Juga: Waspadai Tanda-Tanda Anda Mengalami Kelelahan Kerja

Baca Juga: Ternyata Hyuna Manusia Biasa Juga

Dilasir dari healthline, menurut Deborah Serani, PsyD, seorang profesor di Universitas Adelphi AS, hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor berikut:

1. Kemajuan Teknologi

Karena teknologi, generasi milenial adalah generasi pertama yang tumbuh tanpa belajar pentingnya mempertahankan ‘eye contact’, mampu membaca ekspresi wajah, atau memperdalam kesadaran akan tekstur emosi dalam diri sendiri atau orang lain.

“Kurangnya kesadaran emosional, atau alexithymia, membuat generasi milenial kesulitan memahami pikiran dan perasaan mereka sendiri,” ucap Serani.

Baca Juga: 5 Idol K-Pop Dengan Kekayaan Terbesar 2020

Baca Juga: TikTok : Media Sosial Dengan Pertumbuhan Paling Pesat di Dunia

2. Kelebihan Konsumsi Media

Hadirnya internet menciptakan siklus media 24 jam. Hal ini mempermudah anak-anak muda mengakses konten berita menakutkan.

“Berita mengenai terorisme, bencana alam, atau musibah dapat diakses 24 jam. Hal ini menimbulkan perasaan tidak berdaya, kebingungan, dan ketakutan terhadap kejadian-kejadian tersebut,” ungkap Serani.

3. Mentalitas Semua Orang Pemenang

Mentalitas menang atau kalah memudar dengan hadirnya tombol ‘reset’ dan ‘pause’.

“Prinsip semua orang berhak mendapat penghargaan, menghalangi kemampuan alami manusia belajar menghadapi kegagalan. Imbasnya banyak orang kesulitan mentoleransi keadaan penuh stres, lebih mudah frustrasi, dan menghindari tuntutan agar tidak merasa kewalahan,”tambahnya.

Baca Juga: BLACKPINK: “Grup Pop Terbesar di Dunia”

Baca Juga: #15Minutes4Me, Hati-Hati Kesehatan Mental Anda

4. Rumah Tangga Berpenghasilan Ganda

Tuntutan ekonomi memaksa kedua orang tua harus bekerja, sesuatu yang tidak dialami generasi-generasi sebelumnya.

“Kurangnya kenyamanan yang hadir ketika makan bersama anggota keluarga dan jam bekerja yang tidak pasti, menciptakan kondisi terpencil, sehingga semakin membuat mental menghindar dan terisolasi,” ucapnya.

5. Jam Bekerja Tidak Tentu

Kondisi zaman sekarang yang memungkinkan orang bekerja dimana pun, meski membawa kemudahan namun seringkali membuat orang bekerja sepanjang waktu, bahkan pada hari libur sekalipun.

Baca Juga: Paul Koeck, MD; Sosok Dibelakang Aplikasi 15Minutes4Me

Baca Juga: Ini Kisah Sebuah Aplikasi Raksasa Bernama TikTok

“Hal itu menyebabkan minimnya waktu untuk ‘cas ulang’, melepaskan ketegangan, atau beristirahat. Keadaan tersebut akan meningkatkan resiko fisik dan emosional,” pungkasnya.

Untuk mengatasi faktor-faktor tersebut, tentu disarankan untuk berkonsultasi dengan ahlinya, namun Deborah Serani juga menyarankan untuk menjalankan ‘self care’.

‘Self care’ merupakan sesuatu perilaku yang harus dipaksakan, tidak akan tiba-tiba muncul. Fokus pada kemampuan ‘self care’ seperti memberikan perhatian kepada rekan atau kerabat, makan teratur dan sehat, istirahat secukupnya, dan paksakan untuk berolahraga secara rutin.

Baca Juga: 15Minutes4me TikTok, Sisi Positif Media Sosial ?

Baca Juga: Ada Ajang Tempat Selfie di Cicalengka

Sesekali menjauh dari teknologi, pekerjaan, media, dan gantikan dengan waktu tatap muka yang berkualitas dengan orang lain merupakan hal yang sangat dianjurkan.

Terakhir, jangan tertutup soal tekanan yang sedang dihadapi, berbicara dengan orang lain atau mencari pertolongan ketika diperlukan dapat bantu mengurangi dampak akibat beban mental yang dihadapi.

Manusia merupakan makhluk sosial, bukan makhluk media sosial. Dibutuhkan interaksi langsung dengan manusia lain. Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan menolong baik diri anda sendiri, maupun membantu anda menolong orang lain. (adi hermanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler