Hukuman Kebiri Dapat Jadi Hukuman Tambahan Bagi HW Pelaku Rudapaksa 13 Santriwati

- 14 Desember 2021, 01:00 WIB
Ilustrasi rudapaksa.  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menilai kasus seksual di lembaga pendidikan berasrama sering berulang perlu perhatian serius.
Ilustrasi rudapaksa. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menilai kasus seksual di lembaga pendidikan berasrama sering berulang perlu perhatian serius. /Pixabay/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Pelaku rudapaksa terhadap 13 orang santriwati di Kota Bandung dapat dikenakan pasal tambahan hukuman kebiri sesuai Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berharap penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama ada langkah pencegahan yang serius dari semua pihak.

Kami mendukung proses peradilan yang sedang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan sangat keji terhadap anak yang ingin mendapatkan pendidikan terbaiknya,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar kepada wartawan terkait kasus rudapaksa yang dialami 12 santriwati di pesantren Kota Bandung.

Ditegaskan Nahar, kasus pemerkosaan terhadap 12 santriwati yang dilakukan salah seorang pendidik di pesantren di Cibiru, Kota Bandung layak mendapatkan hukuman seberat-beratnya atau hukuman maksimum. Sebagaimana dalam persidangan terdakwa disangkakan melanggar Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman lebih dari 5 tahun.

Baca Juga: Jengkol Perdana Hasil OPOP di Ekspor ke Dubai UEA

“Saya menilai kepada pelaku juga diterapkan pasal tambahan hukuman kebiri. Sesuai Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016,” ujar Nahar.

Dikatakan Nahar,  kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sangat sering berulang. Kemen PPPA berharap adanya langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.

Kemen PPPA mendorong agar setiap lembaga pendidikan dan pengasuhan, termasuk pesantren harus memiliki dan menerapkan standar pengasuhan bagi anak yang berada di bawah tanggung jawabnya. “Kami juga mengharapkan orangtua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut,” ujar Nahar.

Baca Juga: Kemenfarekraf Gelar Gebyar Vaksinasi Bersama BIN di Biak Numfor

Ditegaskan Nahar, lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x