Hukum Menikahi Wanita Hamil, Pandangan 4 Mazhab Dalam Islam

3 September 2022, 05:00 WIB
Gus Baha Ungkap Hukum Menikahi Wanita Hamil Duluan dan Nasab Anaknya, Apakah Taubatnya Sah? /Pixabay/Takmeomeo.

PORTAL BANDUNG TIMUR - Hukum dalam agama Islam mengatur tentang menikahi wanita hamil. Persoalan mengenai menikahi wanita hamil memang sering terjadi di masyarakat, hingga memicu pro dan kontra.

Pernikahan wanita saat hamil dapat tetjadi karena dua hal. Hal yang pertama adalah karena wanita ditinggalkan suaminya dalam keadaan hamil, baik ditinggal karena bercerai atau karena ditinggal mati. Lalu, hal yang kedua adalah wanita yang hamil karena melakukan hubungan diluar nikah.

Lalu bagaimana hukumnya jika wanita yang sedang hamil tersebut menikah, dalam Islam, kedua kondisi ini bisa memiliki hukum yang berbeda.

Untuk kasus yang pertama jika wanita teraebut menikah lagi dengan lelaki lain (bukan mantan suami) maka harus menunggu selesai masa iddah

Hal itu dijelaskan dalam QS. At-Thalaq: 4

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Para wanita hamil, masa iddahnya sampai mereka melahirkan,"

وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

“Dan janganlah kamu berazam (bertekad) untuk melakukan akad nikah, sampai masa iddah telah habis.” (QS. Al Baqarah: 235).

Dari penjelasan tersebut, disimpulkan bila wanita yang menikah pada masa iddah maka pernikahannya termasuk terlarang dan statusnya batal.

Al-Fairuz Abadzi asy-Syafii menyebutkan

“Tidak boleh menikahi wanita yang menjalani masa ‘iddah setelah berpisah dari suaminya, berdasarkan firman Allah pada ayat di atas, dan mengingat adanya masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab.

Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun menjadi sia-sia.” (al-Muhadzab beserta syarh, 16:240).

Namun jika wanita kembali menikah dengan mantan suaminya dan belum jatuh talak tiga, maka keduanya memiliki hak untuk rujuk. Ketentuan rujuk ini hanya berlaku ketika wanita belum melahirkan janinnya. Dalam kasus ini, istilah yang digunakan bukan menikah tetapi rujuk. Sebab selama wanita masih menjalani masa iddah, dia masih memiliki hak untuk rujuk tanpa harus melalui akad nikah kembali.

Sedangkan untuk kasus wanita yang hamil karena hubungan seksual di luar pernikahan, ada dua pendapat.

Pra ulama memiliki pendapat yang berbeda sesuai dengan mazhab yang dianut.

Menurut para Ulama Syafi’iah, hukum menikahi wanita saat hamil adalah sah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Imam syafiiah juga menjelaskan bahwa wanita yang hamil boleh menikah dengan laki-laki yang menzinahinya maupun yang tidak menzinahinya.

Pernikahan tersebut diperbolehkan menurut mazhab syafiiah selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan adanya ijab kabul. Ulama syafiiah juga berpendapat bahwa wanita menikah saat hamil tidak memiliki masa iddah.

Sedang Ulama hanafiyah sependapat dengan para ulama syafi'yah bahwa pernikahan wanita saat hamil hukumnya sah apabila ia menikah dengan pria yang menzinahinya dan memenuhi syarat maupun akad nikah.

Ulama Hanafiyah juga berpendapat demikian karena mengacu pada ayat Al qur’an bahwa wanita yang hamil bukanlah salah satu wanita yang haram untuk dinikahi. Hal ini disebutkan dalam Al qur’an surat An Nisa ayat 23.

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-audaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Q.S An-Nisa 23)

Namun di sisi lain, Ulama Hanabilah tidak sependapat. Tidaklah sah pernikahan wanita dalam keadaan hamil dan sang wanita baru boleh menikah setelah lewat masa iddahnya yakni setelah melahirkan bayi dalam kandungannya.

Jika wanita tetap menikah dalam keadaan hamil maka pernikahan itu tidak sah menurut ulama Hanabilah.

Begitupun Ulama malikiyah juga sependapat dengan ulama hanabilah bahwa wanita yang hamil memiliki masa iddah. Oleh karena itu, pernikahan wanita hamil dengan pria yang menzinainya maupun yang tidak menzinainya tidaklah sah sampai wanita tersebut melahirkan.***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor: Syiffa Ryanti

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler