Kohe Naik Pamor, Pada Masa Pandemi

20 Januari 2021, 10:00 WIB
PARA pekerja pengolah kohe (kotoran hewan sapi) di Desa Srirahayu Kec. Cikancung Kab. Bandung menggiling kohe untuk memenuhi kebutuhan para petani dan juga pembeli eceran yang melintas di jalur Cijapati. /heriyanto

PORTAL BANDUNG TIMUR - Kebaradaan kotoran hewan sapi yang dihasilkan di peternakan sapi di ruas Jalan Cijapati yang berbatasan antara wilayah Kab. Bandung dan Kab. Garut semula sering dipermasalahkan. Bila musim penghujan selain menimbulkan bau menyengat, gunungan kotoran sapi sering meluber ke jalan, apalagi bila musim kemarau bau menyengat semakin menusuk hidung.

Itu dulu. Tapi kini, dimasa pandemi dan harga pupuk kimia masih dianggap mahal meski sudah disubsidi pemerintah. Petanipun akhirnya menyerah dan mulai melirik pupur organik.

Bahkan kini, disaat masa pandemi Covid-19, pupuk kandang, dari kotoran ayam, kambing dan bahkan sapi yang selama ini kurang dipergunakan, mulai diburu. Pasalnya banyak kaum ibu dan bahkan kaum bapak menggilai tanaman hias.

Baca Juga: Di Vaksin Bukan Untuk Diri Sendiri

Ini cerita tentang para pengumpul kotoran hewan sapi yang dikenal dengan Kohe di Desa Srirahayu Kec. Cikancung Kab. Bandung. “Tepatnya tahun berapa tidak pasti, namun saya memulai rintisan mengolah kotoran sapi menjadi bahan dasar pupuk sekitar pertengahan tahun 2009,” ujar Haji Saef (58).

Dikatakan Saef, warga mengenalnya sebagai Kohe singkatan dari Kotoran Hewan. Namun mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang membeli menamai pupuk organic atau kompos sapi.

Setelah banyak olahan pupuk dengan menggunakan kohe asal Cijapati menurut Haji Saef, pamor kohe Cijapati dari waktu ke waktu terus meningkat. Kotoran sapi yang semula tidak memiliki harga saat mulai dilirik diberikan perusahaan peternakan sapi dengan cuma-cuma, kini untuk satu truk dihargai Rp. 100 ribu hingga Rp150 ribu sesuai dengan kondisi kohe.

Baca Juga: Hulu Sungai Ciliwung Marah, Pemukiman Pemetik Teh Gunung Mas Diterjang  

Kohe dalam keadaan basah oleh para pengusaha yang merupakan warga sekitar hasil binaan perusahaan peternakan diolah. Sistem pengolahan yang masih tradisional dengan cara dikeringkan secara alamiah kemudian dihancurkan dengan mesin penghancur hingga berubah menjadi serbuk.

“Serbuk pasir kohe inilah yang dibeli oleh petani sayuran atau tembakau dari Garut, Lembang, Sumedang, Cianjur dan lainnya. Untuk satu truk kohe dihargai Rp 200 hingga Rp 250 ribu sesuai kondisi kohe,” ujar Haji Saef.

Menurut Nurjaman, salah seorang alumni pertanian Unpad yang kini menjadi pengusaha pupuk kohe, untuk mendapatkan kohe saat ini cukup sulit. “Peternakan sapi di Jawa Barat ini sangat banyak, tapi untuk mendapat kohe dengan kualitas bagus sekarang ini sangat sulit dan harus bersaing dengan pelaku usaha pupuk yang bermodal,” ujar Nurjaman.

Untuk menjadi pupuk yang baik menurut Nurjaman, kohe yang sudah dibeli harus diolah kembali agar kadar air dan zat tertentu yang ada didalamnya benar-benar yang dibutuhkan tanaman tertentu. Selain dikemas dalam bentuk kohe serbuk dan butiran seperti layaknya pupuk kimia, agar lebih berkualitas kohe juga dicampur kompos, sekam bakar atau bahan lain yang merupakan bahan tambahan pupuk organik.

Baca Juga: Dipastikan Layanan BI Tetap Berjalan di Kalsel dan Sulbar

Setelah diproses menjadi pupuk siap pakai, kohe dibungkus dalam kemasan plastik. “Biasanya kami menjual Rp 50 ribu untuk kemasan 10 kilogram, tapi untuk kohe tanpa campuran yang biasa digunakan petani tembakau dijual Rp 25 ribu,” terang Nurjaman.

Momentum Lebaran tahun ini juga dimanfaatkan pedagang kohe musiman di jalur Cijapati. Mereka menjual kohe dalam kemasan plastik 5kilogram bersama bahan atau media tanaman lainnya seperti kompos, sekam bakar maupun bubuk tanaman pakis.

Kini ruas jalan Cijapati setiap menjelang dan sesudah lebaran tidak hanya menjadi jalur alternative, tapi juga sebagai sentra pupuk kotoran hewan. Kotoran hewan sapi yang semula dicibir kini mendatangkan berkah dan diburu. (heriyanto)***

 

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler