Jelang Puncak Musim Penghujan, Perasaan Pengrajin Bata Merah Bercampurbaur Antara Gembira dan Sedih

24 Januari 2021, 11:00 WIB
WIWIN (38) pengrajin bata merah di Kampung Babakan Ciparay, Ds. Rancakasumba, Kec. Solokanjeruk, Kab. Bandung saat melakukan proses pembakaran bata merah di lionya dalam upaya mencari nafkah sekaligus mempertahankan warisan dan juga pamor batamerah Solokanjeruk Kabupaten Bandung. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Musim penghujan merupakan musim yang paling membahagiakan, tetapi juga menyedihkan bagi sejumlah pengrajin bata merah yang masih tersisa di Kampung Babakan Ciparay, Ds. Rancakasumba, Kec. Solokanjeruk, Kab. Bandung, Jawa Barat. Merasa bahagia karena lumpur  bahan membuat bata akan berlimpah terbawa aliran sungai, merasa sedih karena sangat jarang sinar matahari untuk menjemur bata yang sudah selesai di cetak.

Tanah lumpur dari pinggiran sungai Citarum, harus diangkut dengan susah payah oleh Engkos (24) ke tempat ngadesel (mesin disel) tempat mengolah tanah. Meski menggunakan roda yang dibuat dari papan kayu, jaraknya sekitar 200 meteran tetap saja dirasakan sangat berat.

Hal tersebut terpaksa dilakukan Engkos, untuk menekan biaya pengeluaran usaha yang sudah dilakukannya turun temurun orang tuanya. “Sekarang ini semuanya harus menggunakan uang, tidak begitu saja ada dan tinggal pakai,” ujar Engkos, ditemui dipinggiran sungai Citarum Kampung Babakan Ciparay, Ds. Rancakasumba, Kec. Solokanjeruk, Kab. Bandung.

Baca Juga: Permintaan Tinggi, Jelang Tahun Baru Cina Harga Sapi Terus Melonjak

Untuk membuat bata merah, saat ini menurut Engkos mulai dari mendapatkan tanah lumpur, mengangkut, mengolah (diluluh), mencetak hingga membakar menjadi bata merah, semuannya menggunakan uang. Untuk satu truk tanah lumpur dihargai Rp 450 ribu, diakut ke tempat pengolahan yang dulu dengan cara diijak-injak kaki, kini menggunakan mesin diesel (ngadesel) harus membayar ongkos Rp 300 untuk 1000 bata.

Setelah diolah, tanah lumpur yang menjadi tanah lempung dicetak. “Bila memburuhkan, ongkos untuk 1000 bata antara Rp 30 hingga Rp 45 ribuan, itupun kadang sehari buruh hanya mampu mencetak 500 bata,” terang Engkos.

Bata-bata yang sudah dicetak dientep (disusun) untuk dianginkan, hingga siap bakar paling cepat dibutuhkan waktu tiga mingguan, tapi bila musim hujan seperti sekarang ini bisasebulan lebih.“Dulu, setiap lio (tempat pembakaran bata merah) mampu membakar hingga 50 ribu, kini bisa membakar 10 ribu hingga 25 ribu bata saja sudah untung,” ujar Engkos.

Baca Juga: Alasan DPU dan Satgas Citarum Harum Tanam Vetiver di Sungai Cipamokolan

Untuk membakar bata setengah mentah menjadi matang berwarna merah, tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Saat melakukan proses pembakaran yang akan memakan waktu bisa sampai dua pekan, Engkos dibantu oleh Wiwin ibunya untuk menyusun bata menyerupai labirin yang disela-selanya diisi gabah kering yang bisa menghabiskan sebanyak 60 karung yang setiap karungnya dibeli Rp 10 ribu.

Meski proses pembuatan bata merah sudah dibantu mesin, pembuatan bata merah mulai dari mengambil tanah di pinggiran sungai Citarum hingga menjadi bata merah siap angkut, saat ini membutuhkan waktu antara 3 hingga 5 bulan.

Setelah melalui proses panjang selama 3 hingga 5 bulan, bata merah asal Solokanjeruk dan sekitarnya baru bisa dipanen. Bata merah asal Solokanjeruk dan sekitarnya saat ini dihargai Rp 300 ribu untuk setiap 1000 bata bila musim panas, sementara bila musim penghujan harga bata merah bisa mencapai Rp 500 ribu untuk setiap 1000 bata.

Saat ini pamor bata merah Solokanjeruk dan sekitarnya yang lebih dikenal dengan nama bata merah Majalaya, mulai tergeser bata merah produksi Kab. Garut dan Majalengka, bahkan bata merah dari Cililin. Hal ini ditenggarai dengan semakin buruknya kualitas tanah sedimentasi sungai Citarum.

Baca Juga: KNPI Majalaya Bagikan 1.200 Masker Malam Hari, Penerapan Prokes Malam Hari Jarang Disentuh  

Meski belum ada penelitian resmi, namun masyarakat sekitar aliran sungai Citarum mulai dari Kec. Majalaya, Solokanjeruk, Tegalluar, Ciparay dan Bojongsoang, banyak mengeluhkan kondisi tanah bahan baku bata. “Dulu untuk membuat bata merah tidak pernah dicampur apapun, sekarang agar bata tidak hancur setelah dibakar harus dicampur tanah liat (tanah lempung),” ujar Wiwin menambahkan.

Meski harus mengeluarkan banyak ongkos untuk memproduksi bata merah. Para pengrajin bata merah di sepanjang aliran sungai Citarum sepertinya tidak memiliki pilihan lain, karena selain pekerjaan yang dilakoni merupakan warisan turun temurun, merekapun tidak memiliki sawah tanah garapan, dan kalaupun harus bekerja di pabrik tidak memiliki koneksi. Akhirnya meneruskan warisan leluhur membuat bata merah menjadi pilihan. (heriyanto)*** 

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler