Keindahan Payung Geulis, Memberi Corak Warna Tasikmalaya

- 22 Mei 2021, 17:50 WIB
Mak Iyah (75) salah seorang pengrajin payung geulis saat melakukan proses ngararawat payung geulis di rumah produksi Karya Utama, Desa Payingkiran, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya.
Mak Iyah (75) salah seorang pengrajin payung geulis saat melakukan proses ngararawat payung geulis di rumah produksi Karya Utama, Desa Payingkiran, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya. /Foto : Istimewa

PORTAL BANDUNG TIMUR - Payung geulis dikenal sebagai salah satu ikon kerajinan Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2001, saat Kota Tasikmalaya resmi menjadi daerah otonom, Payung Geulis juga resmi menjadi lambang kota tersebut.

Payung Geulis dipilih dari sekian kerajinan khas yang eksis di Kota Tasikmalaya. Tasikmalaya sendiri memang terkenal dengan kerajinan tangannya.

Bukan hanya payung geulis, Tasikmalaya juga merupakan rumah bagi industri kelom geulis, batik tasik, dan bordir. Di daerah kabupatennya, Kecamatan Rajapolah menjadi sentra kerajinan masyarakat dengan berjejer toko yang menawarkan hasil karya tangan masyarakat.

Baca Juga: Ekonomi Kreatif Kota Bandung Terpuruj, Yana Mulyana Ajak Kolaborasi Kemenparekraf

Geulis artinya elok atau cantik sehingga payung geulis berarti payung yang elok atau cantik. Bagai namanya, payung geulis bukan sekedar payung yang lazimnya kita ketahui.

Daripada difungsikan sebagai alat pelindung diri dari hujan dan teriknya matahari, Payung Geulis digunakan sebagai hiasan yang menambah nilai estetik, baik sebagai dekorasi ruangan atau bahkan sebagai aksesoris dan atribut desain pakaian.

Payung geulis biasanya dipakai sebagai penghias para mojang Tasikmalaya yang sedang memakai kebaya pada acara-acara tertentu. Contohnya pada acara perkawinan, upacara adat ataupun upacara kematian, dan bisa dipakai untuk penghias hotel, restoran, atau tempat pariwisata lainnya guna menambah keunikan tersendiri untuk menarik perhatian wisatawan.

Baca Juga: Kemenparekraf Dorong Pemerintah Daerah Selenggarakan Event

Pemerintah setempat juga pernah menerbitkan peraturan yang mewajibkan setiap hotel, perkantoran, dan rumah makan di wilayah Kota Tasikmalaya untuk memasang payung geulis sebagai hiasan depan pintu.

Jika kita mengunjungi Kota Tasikmalaya, akan dengan mudah mendapati Payung Geulis terutama di area taman kota dekat Masjid Agung Tasikmalaya. Di sana, tugu-tugu Payung Geulis raksasa berwarna emas kecoklatan menghiasi pinggiran jalan antara taman kota dengan Masjid Agung.

Pada agenda-agenda tertentu, payung-payung raksasa tersebut akan terbuka tetapi pada hari biasa tertutup seperti halnya payung yang tidak sedang dipakai. Langit-langit jalanan taman kota juga pernah dihiasi Payung Geulis berwarna-warni pada acara Tasikmalaya Oktober Festival 2019 dalam rangka perayaan hari jadi kota ini. Payung geulis juga menjadi aksesoris utama yang harus digunakan pada acara peragaan busana festival tersebut.

Perkambangan industri kerajinan Payung Geulis ini tidak dapat dilepaskan dari peran A. Sahrod. Beliau adalah perintis usaha kerajinan payung geulis Karya Utama yang berdiri sejak tahun 1971 di Jalan Panyingkirab, Desa Payingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya.

Sebagai pengrajin payung geulis A. Sahrod, pernah mendapatkan Penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1992. Penghargaan Upakarti sendiri merupakan penghargaan di bidang perindustrian yang diberikan kepada pihak-pihak yang berprestasi, berjasa, dan aktif dalam melakukan pembangunan dan/atau pemberdayaan industri kecil dan menengah.

Berbagai corak dan warna payung geulis hasil karya rumah produksi Pengrajin Payung Geulis Karya Utama di Desa Pangingkiran, Kec. Indihiang, Tasikmalaya.
Berbagai corak dan warna payung geulis hasil karya rumah produksi Pengrajin Payung Geulis Karya Utama di Desa Pangingkiran, Kec. Indihiang, Tasikmalaya. Foto : Istimewa
Perkembangan pesat industri kerajinan payung geulis berakar di Kecamatan Indihiang, terutama Desa Panyingkiran yang merupakan sentra industri kerajinan ini. Bukan hanya A. Sahrod yang menekuni produksi payung geulis, tetapi masyarakat desa juga banyak yang terjun dalam industri ini.

Payung geulis yang kita ketahui sekarang, ternyata memiliki rupa yang berbeda dulunya. Sandi Mulyana (39), cucu A. Sahrod dan pengrajin payung geulis, menuturkan bahwa dulunya tidak ada hiasan-hiasan estetik yang dilukiskan di atas payung.

Baca Juga: Kemenparekraf Mendukung Upaya Pemda Membangkitkan Pariwisata

Bahan-bahan yang digunakan terbilang lebih alami. Lem perekat yang digunakan asli dari getah kayu yaitu manyel dan pernisnya juga tidak dibeli dari toko melainkan dibuat sendiri dari semacam batu yang disebut kucing.

Bahan untuk payung bukan dari kain satin seperti sekarang, tetapi dari kertas. Pegangan payung pun bukan dari kayu lame atau cayur, tetapi dari bambu. Pola benang yang dipasang di antara pegangan dan kertas juga lebih kerep (padat) daripada yang ada di payung geulis sekarang ini. Konon katanya, payung tersebut dinamai Payung Sieum.

Payung Geulis memang tidak dapat dipungkiri keindahannya. Di atas kain satin, para pengrajin payung geulis menarikan kuasnya membentuk berbagai macam lukisan yang indah. “Motif yang dulu biasanya sering dipakai adalah motif sebrot canon dan siti akbari. Sekarang tidak kami produksi lagi karena tingkat kesulitan (melukisnya) lebih tinggi.” tutur Sandi Mulyana (39).

Dewasa ini, motif yang sering kali didapati adalah motif berbagai bentuk bunga seperti teratai, sakura tanduk dan bunga lainnya yang dikurilingkeun atau dilukiskan di sebagian sisinya ataupun di beberapa tempatnya.

Keindahannya sampai mengantarkan kerajinan ini ke mancanegara. Di Moskow, kerajinan asal Tasikmalaya yang satu ini menjadi salah satu suvenir terlaris di Festival Indonesia tahun 2019 lalu. Pada sekitar tahun 1990-1991, negara-negara seperti Malaysia, Rusia, Italia, Jepang, dan Jerman banyak memesan kerajinan Payung Geulis.

Pembuatan payung geulis tidaklah mudah. Mak Iyah (75), salah seorang pelukis dan pengrajin payung geulis, mengatakan bahwa banyak tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan satu payung yang indah. Dalam pembuatannya, bukan hanya pengrajin payung yang dibutuhkan, tetapi juga mengandalkan peran para pengrajin kayu sebab dari merekalah para pengrajin payung mendapatkan kerangka payung.

Langkah awal yang dibutuhkan dalam pembuatan payung geulis adalah membentuk kain sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Kemudian kerangka payung geulis yang sudah didapat dari pengrajin kayu disatukan dan jarak antar jari-jari payung disesuaikan.

“Kira-kira sekepal tangan.” kata Ijal (21), salah seorang pegawai di Karya Utama. Setelah kerangka siap, kain payung mulai dipasangkan dan direkatkan menggunakan lem kayu. Agar melekat sempurna, payung selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari.

Proses selanjutnya adalah memasang hulu payung atau dihuluan yaitu pemasangan kertas di ujung payung agar tidak merosot. Selanjutnya adalah ngararawat yaitu memasang benang pada payung. Ketelitian dibutuhkan dalam proses ini.

Lukisan payung geulis di dinding Jl. Panyingkiran, Desa Payingkiran, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya.
Lukisan payung geulis di dinding Jl. Panyingkiran, Desa Payingkiran, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya. Foto : Istimewa

Ngararawat sebetulnya dapat dilakukan sebelum atau setelah payung dilukis, tahapannya diserahkan kepada pengrajin. Payung kemudian dilukis dengan berbagai motif dan setelah itu dijemur kembali agar catnya mongering. Tahapan selanjutnya adalah memasangkan gagang payung yang sebelumnya sudah di cat. Langkah terakhir adalah memasang kuncung yang terbuat dari kertas dan kayu di hulu payung.

Payung geulis memang pernah bertumbuh pesat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Desa Panyingkiran pernah memiliki banyak pengrajin payung yang mengekspor hasil produksinya ke mancanegara. Sayangnya, sekarang ini jumlah rumah produksi dan pengrajin payung dapat dihitung jari.

Para pengrajin kebanyakan tidak lagi di usia muda pun tidak banyak anak muda yang tertarik menekuni bidang ini. Sandi (39) sangat meyayangkan payung geulis tidak terlalu dikenalkan kepada kaum muda dan anak-anak Tasikmalaya.

Padahal, menurutnya, jika eksistensi payung geulis ini ingin bertahan lama maka seharusnya pemerintah bisa lebih aktif dalam mengenalkan payung geulis misalnya lewat pembelajaran seni di sekolah dasar atau di setiap jenjang pendidikan. Ia juga berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib para pengrajin jangan hanya ‘mengambil’ karyanya saja. (siti nurbanita sari)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x