Terowongan Sasaksaat,  Bukti Kelam Masa Penjajahan di Cipatat

- 10 Juni 2023, 20:39 WIB
Terowongan Sasaksaat di Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat di buat dengan sistem rodi atau kerjapaksa warga pribumi dan Cina.
Terowongan Sasaksaat di Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat di buat dengan sistem rodi atau kerjapaksa warga pribumi dan Cina. /Portal Bandung Timur/Asri Julianti/

PORTAL BANDUNG TIMUR -Melewati hamparan bukit yang hijau, melalui tingginya jurang yang membentang, hingga menyusuri gelapnya terowongan sepanjang hampir satu kilometer, merupakan pengalaman yang dapat dirasakan ketika mengendarai kereta api dengan rute Jakarta-Bandung. Ketiga pengalaman unik tersebut dapat anda dapatkan ketika melewati Stasiun Sasaksaat.

Stasiun Sasaksaat terletak di Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Tak jauh dari sana, berdiri sebuah terowongan yang memiliki panjang 949 meter. Terowongan inilah yang menarik banyak perhatian masyarakat karena kemegahan serta sejarah kelam yang terpendam didalamnya.

Terowongan Sasaksaat merupakan terowongan kereta api aktif terpanjang di Indonesia yang telah berusia 120 tahun. Sejak pertama kali diresmikan pada 1903, terowongan ini digunakan sebagai jalur penghubung untuk mengangkut hasil komoditas perkebunan dan pertanian masyarakat di wilayah Bandung, seperti  teh, kopi, dan beras.

Baca Juga: Ayo Flashback di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat

“Selain mengangkut komoditas hasil perkebunan, terowongan ini juga digunakan sebagai jalur kereta yang mengangkut penumpang,” tutur Sumiyati (68) ketika ditanya mengenai terowongan yang berada tak jauh dari desanya. “Dulu, banyak masyarakat Sasaksaat yang ikut kerja paksa untuk menggali terowongan ini,” tambahnya.

Pembangunan Terowongan Sasaksaat dikomandoi oleh Staatssporwegen (perusahaan kereta api negara) yang berlangsung pada tahun 1902 dan rampung satu tahun kemudian, yakni pada 1903. Selain melibatkan pekerja pribumi (masyarakat lokal), pembangunan terowongan ini juga dilakukan oleh orang Cina, serta orang Eropa.

Kedudukan orang Cina dan masyarakat pribumi dalam pembangunan terowongan ini adalah sebagai pekerja kasar (kuli). Sedangkan posisi orang Eropa dalam proyek pembangunan terowongan ini adalah sebagai kepala cabang, mandor pekerja, pemborong, serta teknisi.

Baca Juga: Pak Ahmad dan Kesunyian di Jejak Sang Proklamator Menyusun Pledoi

Sumiyati melihat, sejak dahulu posisi kaum pribumi memang tak pernah diuntungkan. Siang dan malam para kuli pribumi tak henti-hentinya mencangkul tanah, hingga menggali kerasnya batuan cadas.

Penggalian secara manual dilakukan demi menghindari resiko akan longsoran tanah yang dapat menghambat jalannya pembangunan. Beratnya beban kerja yang dialami oleh para kuli ini, pada akhirnya menimbulkan korban jiwa.

“Dari informasi yang saya dapat, para pekerja yang menjadi korban dikuburkan disekitar terowongan, makanya tidak boleh ada yang sembarangan masuk kedalam sendirian, kecuali dapat izin dari petugas terowongan yang berjaga di pos”, ucap Nisa (22) yang merupakan warga asli Sasaksaat.

Diantara penyebab timbulnya korban jiwa dalam pembangunan terowongan ini ialah kondisi para pekerja yang sudah kelelahan serta longsoran tanah yang menimpa kuli ketika proses penggalian. Letaknya yang berada diantara perbukitan dengan kadar air yang cukup tinggi dengan medannya yang sedikit menanjak, menjadikannya lahan yang rawan longsor.

Baca Juga: Resep Brownies Kukus Simple dengan Bahan Sederhana

Nilai sejarah yang tersimpan dari terowongan ini, tidak dapat dilepaskan dari banyaknya mitos yang menyebar di masyarakat. Mulai dari suara rintihan pekerja, bunyi cangkul yang beradu dengan batuan cadas, hingga hawa panas yang seringkali tiba-tiba keluar dari dalam terowongan, banyak disaksikan oleh penjaga pos terowongan dan juga warga sekitar.

Berbagai kisah mistis ini muncul, semenjak terowongan ini akan dibangun. Sebelum pembangunan dimulai, masyarakat sekitar terlebih dahulu melakukan ritual sesajen agar pembangunan terowongan berjalan lancar dan tidak diganggu oleh makhluk yang dipercaya menguasai bukit.

Kini, ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Terowongan Sasaksaat telah menjadi tradisi yang terus dilaksanakan setiap tahunnya. Menjelang hari kemerdekaan RI, warga sekitar melakukan ritual penyembelihan kambing didekat terowongan.

Jasad dari hewan yang disembelih ini tidak dibuang atau disimpan begitu saja di dekat terowongan. Setelah ritual penyembelihan selesai, daging hewan yang disembelih dibagikan kepada warga sekitar.

Pada akhirnya, kisah-kisah kelam yang menggema di Terowongan Sasaksaat tidak lebih berharga dari jasa para kuli yang bekerja hingga tutup usia. Kini, penderitaan yang dialami para pekerja paksa telah sirna, terganti dengan nilai sejarah yang tak ada bandingannya. Kebanggan yang dirasakan oleh masyarakat Sasaksaat terhadap tinggalan bersejarah ini terealisasikan dengan dibuatnya patung pejuang yang membawa bambu runcing di gapura menuju Stasiun Sasaksaat. Monumen ini dibuat untuk mengenang jasa mereka yang terkubur dalam gelapnya lorong Terowongan Sasaksaat. (Asri Julianti)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x