Nahar, Penanganan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak Jangan Sampai Berhenti Hingga Putusan Persidangan

- 7 Maret 2022, 08:00 WIB
Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus mengawal penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus mengawal penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak. /pixabay/kalhh/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)terus lakukan koordinasi intens dengan pemeritah daerah terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. KemenPPPA berupaya mengantisipasi jangan sampai kejadian ini berdampak kepada tumbuhnya kejahatan baru akibat ketidaksempurnaan kita dalam memperhatikan kewajiban pelaku dan kepentingan korban.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) selalu melakukan koordinasi intens apabila terdapat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. Kami selalu membuka komunikasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Dinas PPPA yang biasanya sudah terhubung dengan APH di daerah,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar, dalam keteranganya kepada media disampaikan secara virtual di Jakarta.

Dikatakan Nahar, melalui koordinasi KemenpPPPA mendiskusikan hal-hal yang perlu diwaspadai di proses peradilan tingkat pertama. Dalam hal ini, pasal yang digunakan sejak proses penyidikan sudah harus tepat.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Nasional, Jawa Barat Tertinggi Angka Sembuh dan Kasus Positif

“Belakangan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terungkap di tengah masyarakat. Beberapa diantaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati di pondok pesantren di Bandung, dugaan kekerasan seksual oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap anak berusia 13 tahun di Gowa, kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah terhadap anak di Depok, dan berbagai kasus lainnya, semuanya kini tengah menjalani proses hukum,” ujar Nahar.

Untuk rujukan utama dalam mengeksekusi kejahatan kekerasan seksual pada anak di Indonesia menrut Nahar adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.

“Dalam UU tersebut, ancaman pidana yang paling tinggi adalah pidana mati apabila kasus masuk ke dalam kategori persetubuhan dan korbannya lebih dari satu orang. Di samping itu, ada pemberatan sepertiga hukuman untuk kasus-kasus tertentu, misalnya kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orangtua, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, pengasuh, dan wali,” ujar Nahar.

Baca Juga: Mobil Terbakar di Tol Purbaleunyi Km 136.200 Arah Cileunyi

Di samping penetapan hukuman pidana maksimal dan hukuman tambahan terhadap pelaku, menurut Nahar, korban memiliki hak untuk menerima ganti rugi atau restitusi. “Jangan sampai pidana pokoknya dilaksanakan, tetapi dendanya tidak dibayar dan digantikan dengan melaksanakan subsider. Saya pikir persoalannya belum selesai karena ada korban akibat kejadian kekerasan seksual tersebut,” ujar Nahar.

KemenPPPA menurut Nahar, bersama pemerintah daerah harus  mengantisipasi jangan sampai kejadian berdampak kepada tumbuhnya kejahatan baru akibat ketidaksempurnaan. “Kita dalam memperhatikan kewajiban pelaku dan kepentingan korban,” tegas Nahar.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah