Budayawan dan Sastrawan Soni Farid Maulana Telah Berpulang

- 27 November 2022, 07:53 WIB
Ekspresi Budayawan dan Sastrawan Soni Farid Maulana saat membaca karyanya di pentas.
Ekspresi Budayawan dan Sastrawan Soni Farid Maulana saat membaca karyanya di pentas. /Foto : Dokumen pribadi/

Puisinya selain diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga ke dalam bahasa Jerman dan Belanda. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. A. Teeuw dan Linde Voute dalam antologi Winternachten (1999).

Sementara dalam bahasa Jerman, beberapa puisinya terbit di majalah Orientirungen (2000) melalui terjemahan Berthold Damshäuser. Soni Farid Maulana juga menulis puisi dengan latar belakang luar negeri. Sejumlah puisinya bertema musim dingin, baik mengenai Paris, Den Haag, Leiden, maupun sejumlah tempat lainnya di Eropa.

Dua puisi yang cukup menggetarkan, antara lain, berjudul "Di Negeri Salju" yang didedikasikan kepada Rendra, dan "Berjalan di Pinggir Sungai Seine" yang dipersembahkan kepada istrinya. Kedua puisi tersebut ditulis pada tahun 1999 saat Soni Farid Maulana berkesempatan pergi ke  Belanda, mengikuti Festival de Winternachten bersama Rendra, setelah itu melanjutkannya ke Paris.

Selain menulis puisi, ia juga senang menulis cerpen. Beberapa kumpulan cerpennya antara lain, Orang Malam (Q-Press, 2005), Di Luar Mimpi (1997), Kita Lahir sebagai Dongengan (2000), dan Palung Rasa (2001).  "Saya rasa sudah cukup saya bergelut dengan puisi, mudah-mudahan Februari 2008 saya akan menerbitkan dua kumpulan puisi terakhir. Puisi yang bersumber Hadis Muhammad dan Alqur'an akan menjadi penutup kumpulan puisi saya,” ungkap Soni Farid Maulana pada waktu itu.

Sementara diajang forum naional maupun internasional Soni Farid Maulana pernah menghadiri dan tampil  di Forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan DKJ, Asean Writers Conference IV (1990) di Queezon City, Filipina, Festival de Winter-nachten di Den Haag, Belanda (1999), Puisi International Indonesia di Bandung (2002), International Literary Biennale 2005, Living Together di Bandung (2005).

Budayawan Yakob Sumardjo berkomentar bahwa membaca sajak-sajak Soni Farid Maulana akan terasa penguasaannya terhadap idiom-idiom puitik modern. Imajinya terasa cerdas, otentik dan di luar dugaan. Benny Yohanes (dalam Berita Buana 27 Januari 1987) menyatakan adanya "aspek religius yang menandai hubungan vertikal antara makhluk dan Khaliknya yang muncul sebagai arus kuat dalam meraih posisi makna hidupnya. Pada Soni Farid Maulana, arus itu sama nilainya dengan ketentraman dan katarsis diri,” ujar Yakob Sumardjo dalam testimoninya tetang Soni Farid Maulana.

Dalam kumpulan sajaknya yang awal, Soni lebih banyak mengungkapkan dunia kesendiriannya, dunia seorang lelaki yang ditekan oleh kesunyian. Dunia remaja yang masih kalut untuk menentukan nilai yang harus dipegang.

Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, menurut Micky Hidayat, Soni Farid Maulana tampak mempunyai warna tersendiri. Dia memperlihatkan sosok kepenyairannya yang mendalam, yang tercermin pada tema-temanya yang luas tentang pengembaraan rohani, masalah sosial, cinta alam, kemanusian, perenungan diri, dan religiusitas.

Isbedy Setiawan ZS berpendapat bahwa sajak-sajak Soni Farid Maulana memakai idiom (simbol) batu, baja, burung, mawar, daun, lautan maupun embun. Dari pilihan simbol ini disimpulkan bahwa Soni, selain berjiwa halus dan dingin seperti batu, juga memiliki cinta seperti mawar atau burung karena menyadari bahwa sesungguhnya nasib manusia bagai setetes embun di atas daun yang sesaat akan terjatuh ke tanah. (heriyanto)***

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x