Bah Julanta (76) Memilih Berjualan Lahang Menikmati Alam Kemerdekaan

20 Januari 2021, 08:00 WIB
ABAH Julanta saat melayani pembeli di Jalan Raya Cigadung Kota Bandung. /heriyanto/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Setiap pagi seminggu tigakali jalanan aspal Jalan Raya Cigadung rutin dilaluinya. Jalannya sudah  sedikit tertatih-tatih saat mengangkat lodong (bumbung bambu) wadah cai lahang (air nira) untuk di tuangkan kedalam gelas. Diusianya yang sudah 76 tahun, Abah Julanta, masih tampak cekatan melayani pembeli air nira jualannya.

Saat ditanya tentang kondisi tubuhnya yang terlihat renta dan  tertatih-tatih setengah menyeret kaki kiri,  mata kakek Abah (kakek)  Julanta langsung berbinar. Berceritalah dirinya tentang peristiwa yang  menyebabkan kakinya tidak berfungsi normal.

“Ini merupakan buah dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari segala bentuk rongrongan pada negara. Pertarungan dengan gerombolan (DI TII) di Gunung Batara Guru Sumedang saat melakukan (operasi) pagar betis, membuat kaki yang terkena golok harus cacat dan kalau jalan sedikit diseret,” ujar Abah Julanta, yang mengaku terlibat operasi pagar betis saat usianya baru 13 (tahun 1955).

Baca Juga: Jawa Barat, 14 Daerah Beresiko Bencana Tinggi, 13Lainnya Sedang

Dikatakan Abah Julanta, sejak dikeluarkannya kewajiban bagi orang tua maupun anak-anak muda dan dewasa mengikuti operasi pagar betis untuk menumpas pemberontakan DITII, dirinya yang baru berusia 13 tahun terpaksa ikut. “Karena waktu itu abah sudah kawin dan punya istri, jadi oleh desa diwajibkan ikut operasi (pagar betis),” kenang Abah Julanta saat ditemui untuk kesekian kalinya tengah berjualan di Jalan Cigadung Raya, Cibeunying Kaler.

Saat kelompoknya menyusuri kawasan pegunungan Ujungberung (Manglayang) untuk menuju gunung Palasari sebelum Bukittunggul, pimpinan rombongan menerima kabar untuk menuju Gunung Batara Guru.

Diterima kabar komandan rombongan bahwa di kawasan Gunung Batara Guru perbatasan Kabupaten Bandung dan Sumedang (pegunungan Masigit Kareumbi), gerombolan membabibuta melukai dan bahkan membunuh warga untuk merampas harta benda.

Baca Juga: Diperluas Penerapan PPKM di Denpasar Bali

Dalam kondisi rombongan yang sudah kelelahan, di daerah Cibiru rombongan dibawa menggunakan truk ke Cinulang Cicalengka. “Begitu mendengar rombongan datang gerombolan melarikan diri ke pegunungan dan terus dikejar, saat pengejaran tersebut Abah berkelahi dan sempat kena tebas golok gerombolan yang berusaha melarikan diri,” ujar Abah Julanta.

Disela-sela operasi pagar betis yang dilakukan secara bergantian setiap dua bulan, Abah Julanta berjualan cai lahang dari kampung ke kampung daerah Cileunyi, Cicakengka hingga ke perbatasan Sumedang atau Garut. “Tapi adakalanya berjualan di dalam kota Bandung untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan gerombolan,” ujar Abah Julanta.

Pengalaman yang tidak akan terlupakan Abah Julanta berjualan air nira adalah pada Maret 1958 saat masyarakat Kota Bandung berduyun-duyun menuju ke Lapangan Tegallega. Bersama dengan bapaknya, Abah Julanta masing-masing membawa empat lodong air nira untuk dijual menuju Lapang Tegallega.

Baca Juga: Mendesak, Kebutuhan Sarana Digital di Desa Neglasari

Masyarakat dari berbagai pejuru Kota Bandung menuju Lapangan Tegallega untuk mendengarkan pidato Presiden Soekarno yang didampingi Gubernur Jawa Barat Ipik Gandamana dan Panglima Siliwangi R.A Kosasih.

“Saat itu sedang terjadi jaman werit (masa sulit), harga beras Rp.2,5 per kilogram bisa mencapai lima rupiah bahkan delapan rupiah, saking banyaknya warga berkumpul hingga Soekarno harus beberapakali mengucapkan assalamualaikum beberapakali,” kenang Abah Julanta.

Pada masa itu, untuk air nira yang didapat dari penyadap sepanjang aliran hulu sungai Cidurian di perbukitan Cimenyan, dengan harga Rp 5 per lodong. Hingga kini Abah Julanta masih membelinya dipenyadap sekitar aliran sungai Cidurian dengan harga Rp 100.000 perlodong.

Baca Juga: Covid-19 di Cianjur Kian Merebak, Tim Gabungan Gugus Tugas Sidak Pabrik  

Meski Imam Besar DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo pada 4 Juni 1962 sudah tertangkap di Lembah Gunung Geber-Rakutar Majalaya Kab. Bandung (sekarang Kecamatan Pacet), dan kemerdekaan sudah diraih Abah Julanta tetap pada profesinya sebagai penjual aii nira.

 “Saya tidak ingin menyusahkan anak cucu dan juga negara ini yang sudah saya pertahankan dan bela,” ucap Abah Julanta yang masih mampu berjalan naik turun bukit dari rumahnya di Kampung Dago Lesot (Dago Baru) Desa Ciburial Kec. Cimenyan Kab. Bandung kawasan perbukitan Bandung Utara hingga ke daerah Taman makam Pahlawan Cikutra. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler