Kemudian dilanjutkan dengan paparan pembuka oleh Maulidha Sinta Dewi yang membahas pengertian pengawetan dan pentingnya tindakan preventif karena museum-museum di Indonesia umumnya tidak menyalakan pendingin ruangan (AC) selama tidak ada kunjungan.
Hal tersebut menurut Sinta Dewi menyebabkan kenaikan kelembapan iklim mikro yang dapat berakibat pada kondisi benda-benda koleksi. Untuk mengatasi kenaikan kelembapan iklim mikro dibutuhkan langkah-langkah siklus konservasi.
Baca Juga: Hubungan Mahasiswa Indonesia-Rusia Dipererat Lewat IRYA
Diantara langkah yang harus dilakukan, cegah, halang, deteksi, tanggap dan perbaiki.
“Hasil pemantauan iklim lingkungan di ruangan lantai 1 gedung B Museum Nasional mencapai titik terendah (50,7%) pada tanggal 11 September 2019 dan meningkat sampai ke titik tertinggi pada tanggal 13 April 2020 (74,4%) bertepatan pada masa PSBB (Maret – Mei 2020),” ujar Pamong Budaya Ahli Muda Pokja Perawatan dan Pengawetan Museum Nasional.
Sementara Yuni K. Krisnandi, selaku narasumber utama memberikan paparan mengenai peran desikan untuk pengawetan koleksi. Dijelaskan, bahwa desikan berguna untuk menyangga kelembapan koleksi karena desikan mampu menyerap kelembapan iklim mikro.
Baca Juga: Sudah 16 Tahun Perjuangan Usulan Pembentukan CDOB Bandung Timur
Disampaikan Yuni Krisnandi, banyak koleksi museum yang terbuat dari bahan organik seperti kayu dan kain yang mana jenis bahan tersebut memerlukan kelembapan tertentu agar tidak rusak.
Selain itu, terdapat juga material alternatif yang dapat digunakan sebagai pengontrol kelembapan seperti bentonit atau tanah lempung dan zeolite alam atau pasir kucing.
Dikatakan Yuni Krisnandi, silika gel jauh lebih baik dalam hal menjaga koleksi dari kerusakan akibat kelembapan lingkungan dibandingkan dengan bentonit dan zeolit, namun harganya lebih tinggi.