Gedong Pemancar Radio Belanda Cililin, Diakui sebagai Bangunan Cagar Budaya Tapi Tidak Jadi Cagar Budaya

18 Juni 2023, 09:14 WIB
Kondisi Gedong Pemancar Radio Belanda di Kampung Radio, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat kondisinya sangat memprihatinkan sebagai bagunan cagar budaya. /Portal Bandung Timur/Dila Fadila Hoerunnisa/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Kecamatan Cililin yang selama ini menjadi wilayah bagian barat Kabupaten Bandung dan sekarang ini masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat, hanya dikenal dengan makanan khasnya Wajit dan Angleng. Makanan yang berbahan dasar beras ketan dengan gula merah yang dibungkus daun jagung kering.

Seiring dibangunnya Waduk Saguling tahun 1983 yang menggenangi sebagian wilayah Cililin, Sindangkerta dan Batujajar serta Padalarang, daerah Cililin semakin dikenal. Namun hanya sedikit dari kita mengetahui sejarah panjang Cililin bagi bangsa ini, bukan hanya Waduk Saguling sebagai penopang listrik bagi sebagian besar wilayah Jawa Barat, tapi dibalik pembangunannya.

Pemerintah Hindia Belanda telah merancang pembendungan aliran Sungai Citarum di daerah Cililin sejak 1922. Adalah Prof Ir WJ van Blommestein yang memiliki gagasannya, tapi sayang selama Belanda menguasai Indonesia gagasan tersebut tidak terwujud.

Baca Juga: Jembatan Cincin Jatinangor Kabupaten Sumedang, Sisa Kejayaan Perkebunan Tanjungsari Sumedang

Selain ide dan gagasan Prof Ir WJ van Blommestein yang menjadikan Cililin sebagai daerah strategis membendung aliran Sungai Citarum, pemerintah Hindia Belanda juga menganggap Cililin sebagai kawasan yang sangat strategis untuk membangun  Stasiun Pemancar Radio.  Stasiun Radio Pemancar yang digunakan untuk mendukung operasi militer yang berbasis di Cimahi.

Stasiun Pemancar Radio yang kemudian dikenal masyarakat dengan sebutan Gedong Pemancar Radio Belanda terletak di Kampung Radio, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.   Dari SMAN 1 Cililin, jarak menuju Gedung ini hanya sejauh 240m ke dalam Kampung Radio.

Saat melewati Koramil, Gedong Pemancar Radio Belanda sudah bisa terlihat dengan jelas. Kita dapat melewati bangunannya apabila jalan lurus menuju Curug Sawer Cililin.

Baca Juga: Kemegahan Klenteng Hok Lay Kiong di Usia ke 3 Abad

Gedong Pemancar Radio Belanda mulai didirikan sekitar tahun 1908 dan selesai pada tahun 1914 oleh seorang Insinyur berkebangsaan Jerman yaitu Raymond Sircke Hessilken. Pembangunan dilakukan  atas permintaan dari Kolonial Belanda yang kala itu masih menjajah Indonesia.

Terbilang sederhana, bangunan yang panjangnya 20 meter, lebarnya 12 meter, serta tingginya 10 meter. Gedong Pemancar Radio Belanda disusun dengan menggunakan kayu jati, pecahan batu, semen, dan kapur dengan ditopang oleh delapan tiang berukuran sedang.

Namun demikian Gedong Pemancar Radio Belanda teramat kokoh hingga mampu bertahan sampai sekarang. Walaupun dibeberapa bagian sudah terdapat kerusakan akibat kurangnya pemeliharaan.

Pemasangan papan pemberitahunan cagar budaya Gedong Pemancar Radio Belanda tidak mampu mempertahankan keaslian Gedong Pemancar Radio Belanda sebagai bangunan cagar budaya.
Bukan hanya Gedong Pemancar Radio Belanda saja, Raymond rupanya membuat empat bangunan lain yang posisinya berdekatan dengan Gedong Pemancar Radio Belanda. Gedung tersebut yakni Gedung Diesel, Gedung Peredam Suara, Gedung Pengatur Cuaca, dan Gedung Pemancar Gelombang atau Pembangkit Listrik.

Bangunannya dilengkapi oleh adanya radar sinyal yang disimpan diatas bukit agar dapat menjangkau banyak tempat. Sinyal radio yang berpusat di Cililin ini diklaim sebagai sinyal pertama yang bisa menjangkau hingga ke Benua Eropa khususnya Belanda.

“Fungsinya kan udah beberapa tahun ke belakang, bangunannya juga udah lama ada sebelum bapak lahir, ini kan pertama di dunia bukan di Indonesia”, ujar seorang bapak berumur 50 tahun lebih yang tidak ingin namanya disebutkan, ia adalah warga sekitar yang bekerja sebagai tukang ojek.

Gedung yang sudah berumur 100 tahun lebih ini dahulunya digunakan sebagai markas Kolonial Belanda dalam menyiapkan dan mengawasi segala sesuatu untuk menghalau serangan musuh yang bergerak ditanah jajahannya. Pemilihan Kampung Radio (Cililin) sebagai titiknya dikarenakan pada saat itu wilayah ini masih berupa perbukitan yang keberadaannya sulit diketahui oleh pihak musuh.

Awal didirikan gedung ini dinamakan sebagai Gedung Bedrief, lalu dikembangkan menjadi Gedung Telekomunikasi Telepoonken dimana semua peralatan komunikasi disimpan. Tak cukup sampai disitu, Pemerintah Kolonial Belanda semakin mengembangkan gedung ini sampai menjadi Radio Nirom atau Nederland Indishe Radio Ommelanden Maatschappij.

Perubahan ini rupanya mendapat pengaruh dari Perang Dunia 1 yang melibatkan banyak negara di Benua Eropa. Dalam Perang Dunia 1, berbagai Negara Eropa belomba-lomba membuat persenjataan canggih dalam jumlah yang banyak.

Lain halnya dengan Belanda, selain membuat persenjataan, mereka juga turut membuat berbagai peralatan komunikasi yang dinilai penting. Usahanya berjalan dengan baik sehingga salah satu hasil dari pembuatan alat telekomunikasi tersebut difungsikan dan ditempatkan di Cililin.

 “Disana juga ada bangunan lain cuman sekarang dipake sama Koramil, ada juga tuh di SMAN Cililin, terus ini di bawah gedung ini ada satu bangunan lagi yang udah ambruk tapi sisa-sisanya masih ada”, ujar Bapak berumur 50 tahun tadi.

Setelah Indonesia merdeka, gedung-gedung yang berdiri di tanah Kampung Radio ini menjadi terbengkalai. Tiga gedung lainnya hilang karena termakan usia, dua diantaranya masih ada yakni Gedong Pemancar Radio Belanda dan Gedung Pembangkit Listrik.

Sayangnya Gedung Pembangkit yang berada tepat di bawah Gedong Pemancar Radio Belanda sudah mengalami kerusakan yang sangat parah, hingga hanya menyisakan puing-puing temboknya saja. Lama terbengkalai, Gedong Pemancar Radio Belanda sempat dijadikan sebagai Pabrik Tahu oleh warga sekitar namun penggunaannya tidak berselang lama.

Gedung Pemancar Radio Belanda kembali terbengkalai selama beberapa tahun sampai akhirnya warga sendirilah yang meminta pemerintah daerah Kabupaten Bandung Barat agar dapat memperhatikan gedung tersebut sebagai gedung yang bernilai sejarah sebagaimana bangunan bersejarah lainnya.

Proses ini tentunya memakan waktu yang cukup lama, awalnya warga menilai bahwa pemerintah tidak akan menindaklanjuti proses tersebut. Lalu sekitar tahun 2021 atau 2022  Gedong pemancar Radio Belanda secara resmi mendapatkan pengakuan sebagai bangunan cagar budaya yang bersejarah ditandai dengan adanya plang yang terpasang dibagian depan Gedong Pemancar Radio Belanda.

“Tadinya mah gedung ini teh mau dijadiin pabrik pengemasan minyak goreng, tapi gak jadi karena keburu diakui oleh Pemerintah. Si neng bisa lihat di dalam itu udah ada mesin-mesinnya”, ujar Bapak berumur 50 tahun tadi.

Kini Gedong Pemancar Radio Belanda sudah dilindungi kelestariannya oleh UU Nomor 11 Tahun 2010 mengenai Cagar Budaya. “Suka dikunci neng sekarang mah, soalnya suka banyak anak kecil yang main keluar masuk gedung ini”, ujar Ibu Dede Haryati pemegang kunci Gedong Pemancar Radio Belanda.

Sebagai bentuk kepedulian warga akan pentingnya menjaga dan melestarikan bangunan ini, mereka sepakat untuk menguncinya demi menghindari hal-hal yang berpotensi merusak bangunan. Meski begitu, warga masih tetap menggunakan gedung ini sebagai tempat penyimpanan barang mereka yang lain, seperti mobil ataupun motor. (Dila Fadila Hoerunnisa)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler