Jaluddin Embah Malim dan Sejarah Kota Bandung

28 Juni 2024, 22:02 WIB
Gerbang masuk ke komplek pemakaman Jaluddin atau Embah Malim di di Jalan Embah Malim RT 01 RW 18 Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung. /Portal Bandung Timur/Muhammad Julfatansah /

PORTAL BANDUNG TIMUR - Tepat sebelum Flyover Kiaracondong di samping Sekolah Dasar Babakan Surabaya Selatan adanya Jalan Embah Malim. Bagi generasi milenial maupun generasi Gen Z  sekarang saat ini, tidak akan merasa peduli dengan nama jalan ataupun Kawasan.

Kalaupun ada yang bertanya-tanya keterkaitan nama jalan dengan latarbelakangnya, sangatlah jarang yang mencari tahu. Atau ingin tahu kenapa kawasan tersebut diberi nama demikian.

Yup, termasuk Jalan Embah Malim dan kawasan Babakan Surabaya yang berada di Kiaracondong yang memiliki hubungan antara nama jalan dengan kisah hebat di dalam sejarah Kiaracondong? Luangkan waktu anda untuk menelusuri latar belakang sejarah Kiaracondong.

Baca Juga: Di Tengah Pandemi, Ziarah Kubur ke Makam Sunan Gunung Jati Tidak Pernah Surut

Untuk mengetahuinya, kita harus langsung mengunjungi komplek pemakaman Makam Embah Malim yang berlokasi di Jalan Embah Malim  RT 01 RW 18 Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung. Jarak dari ujung jalan atau dari Flyover Kiaracondong sekitar 700 meteran, sedangkan dari Stasiun Kereta Api Kiaracondong sekitar 1,3 kilometer.

Bagi mereka yang pernah hidup di era antara tahun 1960 hingga 1980an mengetahui sedikit banyak tentang makam Embah Malim yang erat hubungannya dengan keangkeran kawasan Bandung tempo dulu. Sosok Embah Malim yang nama aslinya Jaluddin, disebutkan berasal dari Kampung Pariuk, Limbangan, Garut.

Ia diyakini sebagai keturunan prajurit Mataram yang enggan pulang kembali ke Jawa setelah gagalnya penyerangan Mataram ke Batavia. Kakeknya itu yang tidak ingin pulang ke Mataram, dan menetap di Kampung Pariuk Limbangan Garut.

Baca Juga: Keasrian di Komplek Makam Sunan Gunung Djati

Jaluddin atau Embah Malim adalah sosok pengembara atau musafir, terakhir kali beliau menjadi musafir di kota Surabaya. Usai mencari ilmu Jaluddin atau Embah Malim pulang ke kampung halamannya di Pariuk, Limbangan, Kabupaten Garut dan kemudian mengganti nama Kampung Pariuk dengan nama Kampung Surabaya.

Pada masa Bandung di pimpin RA Wiranatakusumah II, pada akhir tahun 1808 awal tahun 1809 mendapat perintah dari Gubernur Jenderal Daendels untuk memindahkan Bandung dari Karapyak ke Cikapundung Hilir yang saat ini jadi Alun Alun Kota Bandung. Untuk membuka kawasan pemerintahan dari wilayah Cikalintu di daerah Cipaganti sekarang ke Balubur Hilir dan ke Kampung Bogor daerah Kebon Karet sekarang ini,  kemudian ke Cikapundung Hilir.

Untuk membuka kawasan baru pada masa itu dimana Bandung masih berupa hutan belantara, dibutuhkan banyak pekerja untuk membabat hutan.  Mendengar hal tersebut, Jaluddin atau Embah Malim merasa tertarik dan datang ke Bandung.

Meski mengalami pemugaran nisan makam Jaluddin atau Embah Malim tetap masih yang aslinya bertuliskan Palawa dan angka tahun 1850.
Sejumlah keterangan menyebutkan Embah Malim mendapat tugas membabat kawasan rawa Geger Hanjuang sisa Danau Bandung di wilayah Ujungberung hingga daerah batas kota di daerah Kosambi.

Ada juga keterangan menyebutkan Embah Malim turut membabad hutan dari hulu aliran sungai Cikapundung di kawasan Lebak Gede yang sekarang kawasan Lebak Siliwangi atau  Babakan Siliwangi hingga ke hilir kawasan Sumur Bandung, Kantor PLN saat ini.  

Pada masa  pemindahan pusat pemerintahan Bandung dari Karapyak ke Bandung saat ini, kondisinya masih berupa rawa-rawa sisa dari Danau Bandung purba. Banyaknya kawasan hutan dan tanah rawa mengakibatkan Bandung pada masa itu sangat rentan dengan penyebaran berbagai penyakit, seperti penyakit Malaria yang sempat mewabah dan banyak menyerang anak-anak.

Karenanya, sangatlah tidak aneh bila pada masa pembukaan dan penataan lahan Bandung pada masa itu banyak anak yang tewas karena terserang penyakit. Hingga di Bandung pada masa itu banyak pemakaman anak atau dikenal sebagai kinderkerkhof.

Baca Juga: Benarkah Abattoir Bandoeng di Kota Cimahi Masuk Bangunan Cagar Budaya yang Patut Diselamatkan

Embah Malim diantara banyak pekerja dikenal sebagai sosok yang taat menjalankan agama Islam. Selain itu juga memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai macam penyakit, bahkan penyakit yang diakibatkan oleh hal-hal gaib akibat pembukaan lahan hutan dipinggiran Sungai Citarum maupun kawasan ranca atau rawa sisa Danau Bandung yang terbentuk akibat banjir luapan sejumlah sungai dan anak sungai pasca letusan Gunung Tangkuban Perahu.

Kemampuan Embah Malim tersebut sampai ke telinga Bupati  RA Wiranatakusumah II. Saat itu Embah Malim mendapat kepercayaan untuk membuka lahan di kawasan peritirahatan pedagang di Alun Alun Kota Bandung sekarang.

Pada masa itu, pedagang dari Kabupaten Bandung di Karapyak Dayeuhkolot  yang hendak ke  Bandung di Cilaganti ataupun ke Ujungberung, singgah di kawasan Alun Alun sekarang ini. Selesai membuka Alun Alun Bandung untuk dibangun Pendopo dan Masjid, Embah Malim mendapatkan hadiah tanah didekat aliran Sungai Cidurian.

Bersama sejumlah pengikutnya Embah Malim membuka lahan untuk pemukiman yang disebutnya sebagai Babakan Surabaya. Dikawasan baru yang sebelumnya juga sudah ada perkampungan kecil, Embah Malim mensiarkan agama Islam serta banyak menolong warga yang terkena berbagai penyakit, karenanya Embah Malim atau Jaluddin lebih dikenal sebagai Embah Pawang.

Baca Juga: Panglejar 1925, Gedung Cagar Budaya Ikonik Jadi Spot Foto Instagramable

Tidak banyak keterangan ataupun literasi yang menceritakan lebihjauh tentang sepakterjang Embah Malim dalam melakukan siar Islam di wilayah Babakan Surabaya. Demikian pula halnya dengan latarbelakang kehidupannya, baik istri maupun anak keturunannya.

Ketidakadaanya keterangan tentang Embah Malim tersebut dikarenakan adanya berbagai upaya pihak Belanda pada masa perang mempertahankan kemerdekaan yang mencoba memutarbalikan fakta. Bahkan dimasa setelah kemerdekaanpun masih ada upaya-upaya untuk membongkar kawasan pemukiman warga di Babakan Surabaya yang hendak dijadikan kawasan industri ataupun pabrik.

Tidak ada angka pasti tentang wafatnya Embah Malim atau Jaluddin. Hanya di nisan makamnya yang tertulis dengan tulisan Palawa disebutkan nama serta angka tahun kematian 1850.(Muhammad Julfatansah)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler