Musim Kemarau, Abah Lili Alih Profesi Jadi Pengrajin Bata Merah

29 September 2023, 07:12 WIB
Abah Lili (57) jadikan musim hujan sebagai anugerah bisa bercocok tanam musim kemarau sebagai barokah bisa membuat bata merah. /Portal Bandung Timur/ Risma Rismawati/

PORTAL BANDUNG TIMUR – Musim kemarau bagi Sebagian banyak orang merupakan musibah. Apalagi bagi petani disawah atau petani sayur mayur yang sangat ketergantungan bagi berlimahnya air.

Namun tidak demikian halnya bagi Lili yang dikenal warga dengan sapaah Abah Lili karena usianya yang sudah menapaki angka 57 tahun. Musim kemarau bagi sebagian banyak warga di Kampung Lembang Kuda Desa Bojongemas Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung, merupakan waktunya beralih profesi.

“Ya, tanah (sawah) sudah tidak punya hanya jadi tukang (penggarap). Kalau sedang musim kering seperti sekarang ini sawah kering,  air sangat  kurang harus menyedot dari (sungai) Citarum, harus biaya untuk sewa pompa dan beli solar. Kalau panen berlimpah masih bisa tertutupi, tapi kalua gagal bukannya untung malah rugi,” ujar Abah Lili ditemui dilionya tengah bersiap membakar bata merah.

Baca Juga: Mang Adang Bendo Pelawak Sunda yang Masih Bertahan Akan Kasundaan

Yah, musim keramau bagi sebagian petani di sekitar aliran Sungai Citarum yang membentang mulai dari Kota Kecamatan Majalaya hingga ke Baleendah Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung, merupakan saatnya beralih profesi. Semula jadi petani di sawah dan kebun, di musim kemarau menjadi pembuat bata merah.

Musim kemarau air Sungai Citarum tengah surut-surutnya. Karenanya untuk mengambil tanah lumpur yang merupakan sedimentasi Sungai Citarum sangat berlimpah dan mudah untuk ambil.

Hal inipula yang dilakukan Abah Lili bersama beberapa warga lain. “Daripada menganggur tidak karuan, usia sudah tidak lagi muda, sudah tidak ada yang membutuhkan,” ujar Abah Lili setengah berkeluhkesah.  

Baca Juga: Kejujuran Pak Sari, Rukunkan Warga Kampung Kebon Kopi Gunungsindur Bogor

Tinggal di Kmpung Padarangkung, Desa Sukamanah RT 04 RW 08, Abah Lili sudah menjalani profesi membuat batu bata sejak tahun 1985. Sebuah pekerjaan turun temurun dari orang tua dan kakeknya, yang sebelumnya tinggal di Kampung Bojong Emas, tapi karena terkena proyek normalisasi aliran Sungai Citarum harus  pindah ke Kampung Lembang Kuda, Desa Bojong Emas hingga saat ini.

Di sudut Kampung Lembang Kuda, Desa Bojong Emas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Abah Lili melakukan proses pembuatan batu bata dengan tangan tuanya. Sudah hampir 38 tahun dirinya  menekuni sebagai pengrajin bata merah.

Biasanya bahan sebagai pembuatan bata merah diambil dari tanah walungan (sungai) dicampur dengan pasir. Akan tetapi, karena saat ini telah dilakukan penutupan oleh pemerintah, Abah Lili harus mencari solusi lain yaitu dengan membeli tanah gunung dengan harga sekitar Rp 400.000-, yang diantar oleh truk hingga tempatnya.

Tumpukan bata merah yang siap di bakar, musim kemarau merupakan masa panen bagi pengrajin bata merah di Desa Bojongemas Solokanjeruk Kabupaten Bandung.
Untuk bahan-bahan batu bata, seperti tanah lumpur dirinya tidak mampu mengambil dari Sungai Citarum, hingga harus membeli dari pengumpul. “Kalau dulu bahan batu bata, tanahnya berupa tanah liat tapi sudah mulai berkurang dan harus beli tanah gunung ke daerah Majalaya. Kini tanah lumpur Sungai Citarum harus diolah untuk menjadi tanah liat dan menjadi bahan bata merah.  

Tanah gunung yang dibeli biasanya dari daerah Majalaya. Hasil tanah dari satu truk tersebut bisa menghasilan 4000 bata merah dengan harga satuan 100 rupiah. Bila sudah terbentuk harganya menjadi 200 rupiah.

Selain bahan tanah, untuk memproduksi bata merah menurut Abah Lili, juga diperlukan kayu bakar yang harga satu truk Rp400.000, juga sekam padi untuk proses pembakaran batu bata satu kali diperkirakan 12.000 bata. “Bila sedang musim hujan pembuatan bisa sebulan sekali karena bata yang sudah dicetak bisa kering sampai semingguan, tapi kalau sedang musim kemarau seperti sekarang ini tidak berhenti, karena bata yang sudah dicetak akan cepat kering dan bisa langsung dibakar,” terang Abah Lili.

Untuk menjualnya, Abah Lili tidak merasa akan terlalu sulit karena sudah ada bandar yang mengambil ke tempatnya. “Kalau sedang musim kemarau seperti sekarang ini banyak yang sedang membangun, karenanya bata akan cepat dibeli bandar,” kata Abah Lili.

Baca Juga: Fania, Keterbatasan Bukan Hambatan Untuk Meraih Prestasi

Menurut Abah Lili pembeli batu bata biasanya kebanyakan dari daerah Rancaekek seperti Kencana, Buah dua, dan sebagainya. Batu bata abah Lili laku dipasaran sekitar tahun 1989 hingga 2001, tetapi dari tahun 2001 batu bata abah Lili mulai surut peminatnya hingga saat ini.

Hadirnya batu bata hebel juga menjadi pesaing dalam usahanya abah Lili. Karena itu, abah Lili dan keluarga tetap berupaya dalam memproduksi batu bata untuk mencukupi kebutuhan keluarga meskipun tidak seberapa.

Di sepanjang jalan sungai Lembang Kuda, Desa Bojong Emas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Abah Lili menjadi salah satu pengrajin di daerah tersebut, memang belum banyak pengrajin batu bata lainnya. Batu bata abah Lili memiliki daya tahan yang cukup kuat daripada batu bata lainnya. Misalnya ketika di tancapkan paku pada batu bata hasil racikan Abah Lili tidak akan mudah rusak begitu saja, daripada batu bata berjenis lain yang mudah hancur ketika ditancapkan paku kemudian dicabut seperti pasir. Kelebihan dari batu bata abah Lili juga membuat bangunan menjadi lebih kokoh dari jenis batu bata lainnya.

Pekerja bata merah Abah Lili sendiri memang tidak begitu banyak, hanya melibatkan keluarganya seperti istri, anak, saudara atau tetangga terdekat. Terjalinnya sebuah pekerjaan yang melibatkan keluarga bahkan hingga tetangga.

Dari hasil karya ciptanya berupa batu bata membuat abah Lili terus giat dalam mencari nafkah meskipun usianya pun ikut bertambah. Terlihat dari senyumnya yang tulus, kerja yang giat, tangan yang menua, kaki yang mulai rapuh dan sebagainya.

Bata merah Abah Lili memang belum memasuki matrial-matrial yang ada sebagai toko kebutuhan bangunan. Karena, mengingat bahwa abah Lili membutuhkan modal yang cukup besar, sedangkan beliau hanya memiliki uang yang pas-pasan. Perhatian pemerintah pun belum begitu besar terhadap pengrajin seperti batu bata sebagai pelaku bisnis kecil. Bahkan batu bata abah Lili tak lekang oleh waktu yang selalu dibutuhkan untuk kontruksi bangunan.

Dalam harapannya Abah Lili, pemerintah lebih memperhatikan terhadap pelaku usaha kecil seperti batu bata miliknya. Ia berharap pemerintah memberikan permodalan untuk usahnya semakin maju dan berkembang kedepannya. Sehingga, abah Lili dapat memproduksi dan meningkatkan kualitas batu bata miliknya serta mempekerjakan lebih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan. (Risma Rismawati)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler