Keindahan Payung Geulis, Memberi Corak Warna Tasikmalaya

- 22 Mei 2021, 17:50 WIB
Mak Iyah (75) salah seorang pengrajin payung geulis saat melakukan proses ngararawat payung geulis di rumah produksi Karya Utama, Desa Payingkiran, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya.
Mak Iyah (75) salah seorang pengrajin payung geulis saat melakukan proses ngararawat payung geulis di rumah produksi Karya Utama, Desa Payingkiran, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya. /Foto : Istimewa

Pada agenda-agenda tertentu, payung-payung raksasa tersebut akan terbuka tetapi pada hari biasa tertutup seperti halnya payung yang tidak sedang dipakai. Langit-langit jalanan taman kota juga pernah dihiasi Payung Geulis berwarna-warni pada acara Tasikmalaya Oktober Festival 2019 dalam rangka perayaan hari jadi kota ini. Payung geulis juga menjadi aksesoris utama yang harus digunakan pada acara peragaan busana festival tersebut.

Perkambangan industri kerajinan Payung Geulis ini tidak dapat dilepaskan dari peran A. Sahrod. Beliau adalah perintis usaha kerajinan payung geulis Karya Utama yang berdiri sejak tahun 1971 di Jalan Panyingkirab, Desa Payingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya.

Sebagai pengrajin payung geulis A. Sahrod, pernah mendapatkan Penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1992. Penghargaan Upakarti sendiri merupakan penghargaan di bidang perindustrian yang diberikan kepada pihak-pihak yang berprestasi, berjasa, dan aktif dalam melakukan pembangunan dan/atau pemberdayaan industri kecil dan menengah.

Berbagai corak dan warna payung geulis hasil karya rumah produksi Pengrajin Payung Geulis Karya Utama di Desa Pangingkiran, Kec. Indihiang, Tasikmalaya.
Berbagai corak dan warna payung geulis hasil karya rumah produksi Pengrajin Payung Geulis Karya Utama di Desa Pangingkiran, Kec. Indihiang, Tasikmalaya. Foto : Istimewa
Perkembangan pesat industri kerajinan payung geulis berakar di Kecamatan Indihiang, terutama Desa Panyingkiran yang merupakan sentra industri kerajinan ini. Bukan hanya A. Sahrod yang menekuni produksi payung geulis, tetapi masyarakat desa juga banyak yang terjun dalam industri ini.

Payung geulis yang kita ketahui sekarang, ternyata memiliki rupa yang berbeda dulunya. Sandi Mulyana (39), cucu A. Sahrod dan pengrajin payung geulis, menuturkan bahwa dulunya tidak ada hiasan-hiasan estetik yang dilukiskan di atas payung.

Baca Juga: Kemenparekraf Mendukung Upaya Pemda Membangkitkan Pariwisata

Bahan-bahan yang digunakan terbilang lebih alami. Lem perekat yang digunakan asli dari getah kayu yaitu manyel dan pernisnya juga tidak dibeli dari toko melainkan dibuat sendiri dari semacam batu yang disebut kucing.

Bahan untuk payung bukan dari kain satin seperti sekarang, tetapi dari kertas. Pegangan payung pun bukan dari kayu lame atau cayur, tetapi dari bambu. Pola benang yang dipasang di antara pegangan dan kertas juga lebih kerep (padat) daripada yang ada di payung geulis sekarang ini. Konon katanya, payung tersebut dinamai Payung Sieum.

Payung Geulis memang tidak dapat dipungkiri keindahannya. Di atas kain satin, para pengrajin payung geulis menarikan kuasnya membentuk berbagai macam lukisan yang indah. “Motif yang dulu biasanya sering dipakai adalah motif sebrot canon dan siti akbari. Sekarang tidak kami produksi lagi karena tingkat kesulitan (melukisnya) lebih tinggi.” tutur Sandi Mulyana (39).

Dewasa ini, motif yang sering kali didapati adalah motif berbagai bentuk bunga seperti teratai, sakura tanduk dan bunga lainnya yang dikurilingkeun atau dilukiskan di sebagian sisinya ataupun di beberapa tempatnya.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x