Suatu ketika, Sipan, anak juru piara kuda itu, melihat bahwa kuda sebenarnya bisa disuruh menari jika dilatih dengan tekun. Kuda, di mata Sipan, punya sifat khas penurut.
Yakin bahwa kuda bisa dilatih, sejak tahun 1936 Sipan yang mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk memelihara kuda Pangeran Mekah, mulai melatih kuda yang diurus ayahnya tersebut, hingga benar-benar bisa menari. Kuda menari itu, kemudian terkenal dengan sebutan kuda renggong.
“Begitulah. Kalau saja Pangeran Mekah tidak menyuruh ayah Sipan mengurus kuda di istal miliknya di wilayah Licin, Sumedang, kuda bisa menari, mungkin tidak akan tercipta,” kata Ade.
Hasil kerja keras Sipan itu, sejak 1936, di Sumedang mulai terkenal kuda renggong, selain kuda balap. Dalam perkembangannya, kuda renggong juga menyebar dan berkembang di daerah lain seperti Majalengka, Cirebon, Bandung, Subang, dan Bogor.
Membanggakan, begitulah kuda renggong Sumedang, kata sebagian orang. Namun demikian, Ade Abdul Kholik, merasa khawatir terhadap perkembangan Kuda Renggong Sumedang di jaman milenial kini.
Di satu sisi, Ade Abdul Kholik memang bangga, karena kuda renggong hingga kini masih diminati. Pemkab Sumedang pun hampir setiap tahun menggelar Festival Kuda Renggong. Dalam acara-acara penting seperti Peringatan Hari Jadi Sumedang dan Agustusan pun, Kuda Renggong sering ditampilkan dalam helaran.
Ia bahkan mengaku bangga, karena belakangan, grup Kuda Renggong banyak bermunculan di Sumedang dan daerah lainnya, seiring dengan besarnya permintaan warga untuk nanggap atau menggelar pertunjukkannya.
Baca Juga: Gerakan #CintaKitaBersama Bentuk Solidaritas Sesama Pelaku Industri Hiburan
Permintaan tersebut, umpamanya datang dari keluarga yang mengkhitan anaknya, atau acara syukuran lainnya. Akan tetapi, di sisi lain, setelah ia lihat dan cermati, Kuda Renggong dari dulu hingga kini tidak ada perubahan, terutama dalam gerakan tari yang ditampilkannya.