Battle of Java Sea, Menandai Keterpurukan Seni Adiluhung Pesisir Utara Jawa Barat

- 30 Januari 2022, 12:33 WIB
Battle of the Java Sea
Battle of the Java Sea /Sumber : Alchetron/

Namun cerita yang berkembang dimasyarakat Indramayu bukan peristiwa heroik pertempuran Laut Jawa yang dimenangi pasukan Jepang. Namun pasca pertempuran dimana sehari setelah pertempuran dilautan Jawa, tepatnya pada 1 Maret 1942, 5000 orang pasukan Kekaisaran Jepang mendarat di Pantai Eretan Indramayu.

Baca Juga: Sertu Anumerta Muhammad Rizal, Dimakamkan Dengan Upacara Kebesaran Kenegaraan DI TMP Cikutra Bandung  

Dalam kondisi kelelahan dan kekurangan makanan mereka mengambil harta benda yang dimiliki oleh rakyat. Bukan hanya dengan cara memaksa, tetapi juga dengan disertai kekerasan, terutama oleh 3000 orang pasukan Jepang yang akan meneruskan perjalannan ke Subang untuk menduduki Lapangan Terbang di Kalijati.

Namun dalam ingatan sejumlah pelaku seni tradisional, peristiwa 76 tahun lalu tersebut masih sangat membekas. Dimana keberingasan tentara Jepang bukan hanya ke harta benda, tetapi juga titinggalan budaya tradisional berupa perangkat gamelan, wayang, topeng (kedok) hingga pakaian dimusnahkan.

Ada banyak budaya titinggalan yang dijaga dan sudah ratusan tahun di pelihara dirusak. Bahkan untuk sekedar bebarangan Nopeng (mengamen mennari topeng), pada masa pendudukan Jepang, dilarang. Sebagaimana yang dialami Dalang Topeng Lastra dari Slangit Indramayu (ayah Mimi Rasinah), Mama Taham Topeng Tambi (ayah Mimi Wangi Indriya) dan banyak lagi, mereka pernah merasakan kebringasan tentara Jepang.

Kenapa yang menjadi sasaran para dalang topeng? Ada banyak alasan pasukan Jepang sangat memusuhi para dalang topeng. Selain karena berlatarbelakang kesenian sarana penyebaran agama Islam, para dalang topeng juga dicurigai sebagai mata-mata Belanda atau tentara Republik Indonesia.

Baca Juga: Bandung Menuju Kota Dunia, Begini Konsepnya

Nasib para dalang di Indramayu, bahkan di Subang, Cirebon hingga Majalengka dan Kuningan, semakin memburuk manakala Belanda dan Sekutu melakukan Agresi Militer Belanda II yang dikenal dengan nama Operatie Kraai pada Desember 1948. Pada masa itu, kelengkapan berkesenian para pelaku seni disita dan dihancurkan, bahkan tidak segan-segan tentara Belanda membunuh seniman dengan tuduhan sebagai mata-mata, sebagaimana yang dialami sejumlah dalang Topeng dan dalang Wayang, diantaranya dalang Topeng Lastra ayah Mimi Rasinah.

Nasib para dalang berserta seniman lainnya semakin lebih buruk manakala merebaknya organisai komunis PKI dengan mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950. Setiap pelaku seni budaya harus turut bergabung dalam Lekra dengan sanksi bila tidak bergabung akan diculik dan tidak diketahui rimbanya.

Hal ini tentunya menjadi simalakama bagi para pelaku seni budaya di daerah pada masa itu. Bila ikut jadi anggota akan berhadapan dengan pemerintah RI, bila tidak ikut akan berhadapan dengan gerombolan.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x