Battle of Java Sea, Menandai Keterpurukan Seni Adiluhung Pesisir Utara Jawa Barat

- 30 Januari 2022, 12:33 WIB
Battle of the Java Sea
Battle of the Java Sea /Sumber : Alchetron/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Sungguh menarik setiap kali melakukan perjalanan ke wilayah Pantai Utara Jawa Barat. Seperti ke daerah Cirebon, Indramayu maupun Subang. Ada banyak cerita sejarah yang tidak pernah diungkap terkait peran masyarakat di kawasan Pantai Utara Jawa Barat hingga kini.

“Padahal bila mau menelusuri, akan ada banyak cerita dan tempat-tempat bersejarah atau setidaknya tempat terjadinya peristiwa bersejarah. Bahkan selain dari babad ataupun catatan masyarakat, terkait sejarah masa lalu juga bisa di dapat dari dalang ataupun seniman Maapat,” ujar Toto Amsar Suanda, peneliti budaya dan sejarah seni tradisi Jawa Barat, yang juga kurator seni UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat, saat digelar Dialog Budaya Mengungkap Topeng Cirebon dan Indramayu.

Yah, salah satunya pertempuran antara pasukan perang Jepang dengan Sekutu di laut Jawa pada 27 dan 28 Februari 1942 dengan sebutan Battle of Java Sea. Dalam kenangan masyarakat Indramayu, pertempuran di laut Indramayu tersebut merupakan salah satu awal masa kelam masyarakat Indramayu akibat penjajahan tentaran Jepang.

Baca Juga: Tumbuhkan Rasa Takut Kepada Allah SWT, Agar Terhindar dari Perilaku Ini

Battle of Java Sea, merupakan sebuah pertempuran dilautan terbesar kedua selama Perang Dunia ke II setelah Battle of Jutland (31 Mei-1 Juni 1916) di perairan Denmark dan Norwegia. Namun dikalangan masyarakat Indramayu dan sekitarnya, pertempuran sepanjang sore hingga dinihari antara Pasukan Sekutu (AS, Inggris, Australia dan Belanda) melawan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dikenal dengan pertempuran Eretan.

Pertempuran antara  pasukan Sekutu yang menghadang 10 kapal laut pengangkut Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang hendak melakukan invasi ke Jawa Barat dan Jawa Timur, menciptakan suara dentuman di tengah lautan dan juga asap membumbung ke langit. “Dalam babad Indramayu maupun tembang Macapat digambarkan betapa rakyat benar-benar panik dan bingung, namun tidak mampu apa yang harus dilakukan, dan ini ” ujar Toto Amsar Suanda.

Dalam sejumlah literatur sejarah diceritakan  armada American British Dutch Australian Command (ABDACOM) dipimpin Laksamana Muda Karel Doorman mengerahkan tiga penjelajah ringan kapal HNMLS De Ruyter, HNMLS Java dan HMAS Perth,  dua  penjelajah berat USS Houston dan HMS Exeter, serta Sembilan kapal perusak, HMS Electra, HMS Encounter, HMS Jupiter, HNLMS Kortenaer, HNLMS Witte de With, USS Alden, USS John D. Edwards, USS John D. Ford, dan USS Paul Jones.

Baca Juga: Liga 1 Indonesia, 7 Kali Aksi Heroik Teja Paku Alam Bikin  Ciro Menangis di Sisi Lapang

Sementara armada Laut Kekaisaran Jepang dipimpin Laksamana Muda Toshinori Shoji Nishimura karena dalam rangka menginvasi tanah Jawa mengerahkan 14 armada kapal perusak, Yūdachi, Samidare, Murasame, Harusame, Minegumo, Asagumo, Yukikaze, Tokitsukaze, Amatsukaze, Hatsukaze, Yamakaze, Kawakaze, Sazanami, dan Ushio. Selain itu juga dikawal dua kapal penjelajah berat, Nachi dan Haguro serta dua penjelajah ringan, Naka dan Jintsū .

Mendapat perlawanan tidak berimbang pasukan ABDACOM pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman tidak mampu memberikan perlawanan. Bahkan sejarah mencatat lebih dari 2.300 pasukan sekutu yang tergabung dalam ABDACOM tewas, termasuk Laksamana Muda Karel Doorman yang berada diatas kapal Hr. Ms. De Ruyter.

Namun cerita yang berkembang dimasyarakat Indramayu bukan peristiwa heroik pertempuran Laut Jawa yang dimenangi pasukan Jepang. Namun pasca pertempuran dimana sehari setelah pertempuran dilautan Jawa, tepatnya pada 1 Maret 1942, 5000 orang pasukan Kekaisaran Jepang mendarat di Pantai Eretan Indramayu.

Baca Juga: Sertu Anumerta Muhammad Rizal, Dimakamkan Dengan Upacara Kebesaran Kenegaraan DI TMP Cikutra Bandung  

Dalam kondisi kelelahan dan kekurangan makanan mereka mengambil harta benda yang dimiliki oleh rakyat. Bukan hanya dengan cara memaksa, tetapi juga dengan disertai kekerasan, terutama oleh 3000 orang pasukan Jepang yang akan meneruskan perjalannan ke Subang untuk menduduki Lapangan Terbang di Kalijati.

Namun dalam ingatan sejumlah pelaku seni tradisional, peristiwa 76 tahun lalu tersebut masih sangat membekas. Dimana keberingasan tentara Jepang bukan hanya ke harta benda, tetapi juga titinggalan budaya tradisional berupa perangkat gamelan, wayang, topeng (kedok) hingga pakaian dimusnahkan.

Ada banyak budaya titinggalan yang dijaga dan sudah ratusan tahun di pelihara dirusak. Bahkan untuk sekedar bebarangan Nopeng (mengamen mennari topeng), pada masa pendudukan Jepang, dilarang. Sebagaimana yang dialami Dalang Topeng Lastra dari Slangit Indramayu (ayah Mimi Rasinah), Mama Taham Topeng Tambi (ayah Mimi Wangi Indriya) dan banyak lagi, mereka pernah merasakan kebringasan tentara Jepang.

Kenapa yang menjadi sasaran para dalang topeng? Ada banyak alasan pasukan Jepang sangat memusuhi para dalang topeng. Selain karena berlatarbelakang kesenian sarana penyebaran agama Islam, para dalang topeng juga dicurigai sebagai mata-mata Belanda atau tentara Republik Indonesia.

Baca Juga: Bandung Menuju Kota Dunia, Begini Konsepnya

Nasib para dalang di Indramayu, bahkan di Subang, Cirebon hingga Majalengka dan Kuningan, semakin memburuk manakala Belanda dan Sekutu melakukan Agresi Militer Belanda II yang dikenal dengan nama Operatie Kraai pada Desember 1948. Pada masa itu, kelengkapan berkesenian para pelaku seni disita dan dihancurkan, bahkan tidak segan-segan tentara Belanda membunuh seniman dengan tuduhan sebagai mata-mata, sebagaimana yang dialami sejumlah dalang Topeng dan dalang Wayang, diantaranya dalang Topeng Lastra ayah Mimi Rasinah.

Nasib para dalang berserta seniman lainnya semakin lebih buruk manakala merebaknya organisai komunis PKI dengan mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950. Setiap pelaku seni budaya harus turut bergabung dalam Lekra dengan sanksi bila tidak bergabung akan diculik dan tidak diketahui rimbanya.

Hal ini tentunya menjadi simalakama bagi para pelaku seni budaya di daerah pada masa itu. Bila ikut jadi anggota akan berhadapan dengan pemerintah RI, bila tidak ikut akan berhadapan dengan gerombolan.

Suasana persiapan pertempuran di kapal De Ruyter
Suasana persiapan pertempuran di kapal De Ruyter
Mirisnya menurut Toto Amsar, kondisi dimusuhinya para pelaku seni budaya tradisional di daerah tidak hanya pada masa invasi tentara Jepang ke tanah Jawa, pada masa Agresi Militer Belanda II, serta pada masa Pemberontakan PKI.

“Tapi kondisi dicurigai, dimusuhi hingga berbuntut seniman dan budayawan dijebloskan ke penjara terjadi pasca pemberontakan PKI, ratusan bahkan ribuan seniman budayawan dijembloskan ke penjara dengan tuduhan sebagai anggota Lekra pada masa Orde Lama hingga awal Orde Baru,” ujar Toto Amsar.

Padahal, sejak awal kehadiran ditanah Jawa khususnya pesisir pantai utara, para wali menjadikan seni budaya sebagai media dakwah menyebarkan agama Islam.  Pada abad 15M sekitar tahun 1470, tari Topeng, Wayang Kulit, Wayang Cepak dan lainnya dijadikan Raden Syahid atau Sunan Kalijaga dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tontonan (hinburan) juga tuntunan (media syiar Islam) di Cirebon sebagai pusatnya sebelum menyebar ke Majalengka, Kuningan, Indramayu dan Subang.

Alam kemerdekaan pasca penjajahan terus bergulir. Mulai dari Orde Lama, ke Orde Baru, Reformasi dan kini dimana generasi banga akan sebutan generasi milenial , nasib pelaku seni budaya tidak mengalami banyak perubahan. Hingga akhir hayatnya mereka masih harus berjibaku untuk menghidupi warisan adiluhung leluhurnya. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x