Mengapa Ilmu Nujum Ada yang Dikategorikan Sihir? Ini Penjelasannya

- 11 Januari 2024, 09:03 WIB
Ilustrasi sihir.
Ilustrasi sihir. /Pixabay/Pexels/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Ahli nujum adalah orang-orang yang mempelajari ilmu perbintangan dan menjadikannya sebagai profesi. Dalam bahasa Arab, kata Tanjim atau pernujuman, adalah setimbang dengan kata Taf’il yang berarti usaha mengetahui sesuatu melalui fenomena bintang. Sedang dalam terminologi syariat pernujuman diartikan sebagai upaya mengetahui sesuatu dengan mengikuti syarat bintang-bintang.

Dosen Universita Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (UIN SGD), Karsidi Diningrat menjelaskan, baik Imam Adz-Dzahabi maupun Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan berpendapat bahwa, ilmu nujum (perbintangan) terbagi menjadi dua macam, yaitu:

Pertama , ilmu nujum yang diperbolehkan, yaitu ilmu ta’syiir, Ilmu mengenai peredaran bintang untuk mengetahui musim serta panjang dan pendeknya waktu siang. Ilmu itu merupakan kebutuhan yang diperbolehkan karena manusia menggunakannya untuk kemashlahatan. Lebih lanjut dikatakan Ilmu Tasiir menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah mata angin dan letak geografis suatu negara dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam islam. Dari sinilah munculnya Hisab Taqwim (penanggalan), pengetahuan tentang puncak atau ujung musim dingin dan panas, waktu-waktu pembuahan (hewan dan tumbuhan), kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah penyakit dan semacamnya.

Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengambil pancaran sinar dari sekumpulan bintang (menjadikannya sebagai dasar ramalan peristiwa bumi), maka sungguh ia telah mengambil pancaran sinar dari sekumpulan sihir (sama dengan melakukan sihir), dia menambahkannya jika ia menambahkannya.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya benar).

Hadis ini mengacu pada bagian kedua yakni ilmu Ta’tsiir. Karena seorang ahli nujum (astrolog) memang biasa menggunakan bantuan syetan dan meyakini apa yang diyakini oleh kaum Shaibah bahwa bintang-bintang itu mempunyai ruh yang aktif, maka mereka menggunakan bantuan syetan untuk menyelesaikan urusan mereka. Atas dasar ini, maka ilmu ini dianggap sebagai bagian dari sihir.

Termasuk dalam kategori ilmu ini ialah ilmu mengenai arah bintang, seperti kutub utara merupakan petunjuk arah utara yang dipergunakan untuk mengetahui arah kiblat dan arah-arah yang lain. Dalam hal ini Allah berfirman, “dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl [16]: 16). Mereka mendapatkan petunjuk di kegelapan daratan dan lautan jika tidak ada mendung yang menutupi bintang, mereka mengambil petunjuk darinya.

Kedua , ilmu ta’tsiir, kebalikan dari ilmu tasyir. Yaitu, menggunakan ilmu perbintangan untuk mengklaim bahwa apa yang terjadi di bumi disebabkan oleh bintang yang ada di langit. Hal ini sebagaimana yang mereka katakan pada zaman jahiliyah, “Kita mendapat petunjuk karena munculnya bintang ini dan ini.”

Lebih lanjut Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, mengatakan bahwa Ilmu ta’tsiir, menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa lainnya sebagai dasar penentuan berbagai peristiwa di bumi, baik sebagai sesuatu yang berpengaruh mutlak maupun hanya sebagai isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi. Jika dia percaya bahwa keadaan itu adalah faktor yang berpengaruh mutlak atas peristiwa-peristiwa bumi – baik karena kekuatan internalnya maupun karena izin Allah – maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat Musyrik Besar dan keluar dari islam. Tetapi jika percaya bahwa keadaan itu merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi, maka ia dinyatakan sebagai musyrik dengan tingkat Musyrik Kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.

Inilah ilmu yang diharamkan dan tidak boleh dijadikan sandaran. Tidak ada hubungan antara kejadian di bumi dengan sesuatu yang terjadi di langit. Langit berdiri sendiri, apapun yang terjadi di langit tidak berpengaruh terhadap bumi. Begitu juga bintang-bintang tidak ada hubungannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi di bumi.

Atas dasar inilah Islam mengharamkan peramalan serta semua perilaku yang terkait dengannya. Dukun peramal dinyatakan kafir karena ia mengklaim mengetahui kegaiban yang sebenarnya hanya diketahui Allah Swt. Orang yang memanfaatkan jasa dukun peramal dan percaya pada pengetahuannya akan kegaiban juga dinyatakan kafir dengan tingkat Kafir Besar. Sedang orang yang tidak mempercayainya, tetapi mendatangi tempat sang dukun tidak dengan maksud menjadi saksi atasnya atau menyuruh mereka kepada yang makruf atau mencegah mereka dari yang munkar, atau ia mendatangi tempat sang dukun dengan tujuan melaksanakan advisnya karena menganggap itu tidak berbahaya – dimana jika ramalannya ternyata benar berarti ia senang tujuannya tercapai dan jika tidak benar juga tidak apa-apa – juga dinyatakan kafir dengan tingkat Kafir Kecil yang lebih besar dari dosa besar paling besar.

Halaman:

Editor: Andriansyah Andrie


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x