Kyai Haji Zainal Mustafa Bersama Santrinya Gunakan Pedang Bambu Gombong Lawan Kampetai Jepang

9 Juli 2023, 17:50 WIB
Yusuf Mustafa (45) cucu Kyai Haji Zainal Mustafa menunjukan pedang bambu yang terbuat dari bambu gombong untuk melawan Tentara Jepang pada peristiwa 25 Februari 1944 yang dikenal dengan Pertempuran Rakyat Singaparna. /Portal Bandung Timur/Sintianisa/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Kisah heroik pimpinan Pondok Pesantren Sukamanah Kyai Haji Zainal Mustafa dan santrinya terhadap penjajah Jepang di Kabupaten Tasikmalaya, tercatat dalam sejarah Jawa Barat maupun Nasional. Peristiwa 25 Februari 1944 yang dikenal dengan Perlawanan Rakyat Singaparna, menimbulkan jatuh korban jiwa dari Pondok Pesantren Sukamanah cukup banyak.

Mencapai 86 orang santri yang gugur dalam pertempuran,  4 orang santri meninggal karena disiksa dan 2 santri meninggal di dalam penjara di Tasikmalaya. Tidak hanya itu. Untuk menghentikan pemberontakan para santri  Pondok Pesantren Sukamanah pimpinan Kyai Haji Zainal Mustafa dan dibantu oleh masyarakat sekitar.

Bala tentara Jepang menangkap 700 hingga 900 orang. Sebanyak 23 orang bersama Kyai Haji Zainal Mustafa dinyatakan bersalah pada peristiwa 25 Februari 1944 dan tahan di Sukamiskin Bandung untuk kemudian di bawa ke Batavia atau Jakarta.

Baca Juga: Ereveld Pandu Saksi Perang Dunia II, Antara Keheningan dan Kedamaian

Ihwal terjadinya Perlawanan Rakyat Singaparna, di lingkungan Pondok Pesantren Sukamanah,  Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, diceritakan, Yusuf Mustafa (45) salah seorang cucu dari Kyai Haji Zainal Mustafa.

“Pada awal Jepang masuk ke Indonesia setelah menundukan Belanda, Jepang bersikap ramah pada  Kyai Haji Zainal Mustafa, karena berharap dapat membantu menyebarkan semangat fasis Jepang menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya,” cerita Yusuf Mustafa.

Terhadap permintaan pemerintah Jepang tersebut, sikap Kyai Haji Zainal Mustafa justru sebalikanya, menolak tegas permintaan Pemerintah Jepang tersebut.

“Justru  Kyai Haji Zainal Mustafa, mengingatkan para santrinya untuk tidak tergoda pada propaganda asing dan memperingatkan bahwa fasisme Jepang yang berbahaya, apalagi dengan perbuatan Seikerei atau menghormat Kaisar Jepang dengan membungkukan badan ke arah Matahari,” ujar Yusuf Mustafa.

Baca Juga: Stasiun Remise, Pesona Sisa Kejayaan Pabrik Gula Jatibarang Brebes

Tindakan Seikerei membungkukan badan ke arah Matahari dengan maksud menghormat kepada Kaisar Jepang menurut  Kyai Haji Zainal Mustafa sebagai perbuatan syirik atau menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tindakan  Seikerei membungkukan badan ke arah Matahari merupakan perbuatan terlarang dalam ajaran Islam serta merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.

Terhadap pembangkangan  Kyai Haji Zainal Mustafa, para petinggi Jepang di Tasikmalaya berniat untuk menangkap Kyai Haji Zainal Mustafa. Namun sebelum dilakukan penangkapan,  Kyai Haji Zainal Mustafa, berniat melakukan pemberontakan dan memerintahkan para santrinya untuk membuat senjata berupa bambu runcing dan pedang dari haur gombong atau bambu gombong.

Kyai Haji Zainal Mustafa, berniat untuk melakukan penculikan terhadap para petinggi Jepang di Tasikmalaya dan memutus aliran kabel telepon agar komunikasi putus. Namun rencana Kyai Haji Zainal Mustafa, tersebut diketahui karena adanya penghianat.

Pimpinan Jepang mengirim beberapa satu regu Kampetai atau Polisi Militer Jepang untuk menangkap Kyai Haji Zainal Mustafa, tapi justru tentara tersebut ditahan di pesantren dan baru dibebaskan pada 25 Februari 1944.

Baca Juga: Goa Jepang Kampung Karamat Gunung Sadu Nasibnya Kini

Siang harinya sekitar pukul 13.00 WIb Petinggi Jepang kembali mengirimkan 3 orang Kampetai dan seorang juru bahasa, meminta agar Kyai Haji Zainal Mustafa, mengembalikan 12 buah senapan, 3 buah pistol, 25 senjata tajam yang disita dari regu Kampetai.

Terhadap permintaan tersebut di balas pekik takbir Kyai Haji Zainal Mustafa, hingga membuat ke 4 utusan lari tunggang langgang ke sawah. Tiga orang Kampetai tewas ditangan santri dan seorang juru bahasa dibiarkan hidup untuk menyampaikan pesan kepada Pemerintah Jepang agar meninggalkan Tasikmalaya dan memerdekakan Pulau Jawa.

Terhadap sikap Kyai Haji Zainal Mustafa,  Pemerintah Jepang memerintahkan 6 Kompi Polisi Istimewa atau Heiho yang merupakan polisi warga pribumi atau orang Indonesia sendiri dari sejumlah wilayah Jawa Barat. Mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa sendiri Kyai Haji Zainal Mustafa, memerintahkan agar santrinya tidak memberikan perlawanan terlebihdahulu.

Kyai Haji Zainal Mustafa, memerintahkan santrinya agar mengambil tindakan saat pasukan Heiho berada dalam jarak perkelahian. Namun yang dilakukan oleh pasukan Heiho bangsa sendiri yang membantu Pemerintah Jepang, justru menembaki Kyai Haji Zainal Mustafa, dengan senapan otomatis yang didahului tembakan salvo hingga korban berjatuhan.

Baca Juga: Benarkah Abattoir Bandoeng di Kota Cimahi Masuk Bangunan Cagar Budaya yang Patut Diselamatkan

“Berawal dari rangkaian peristiwa pada hari Jumat tanggal 25 Februari 1944 Masehi atau Rabiul Awwal 1365 Hijriah terjadi peristiwa heroik  Perlawanan Rakyat Singaparna, yang menewaskan puluhan orang sebagai syuhada dan ratusan lainnya ditangkap. Para syuhada dimakamkan dalam satu lubang, sementara  Kyai Haji Zainal Mustafa bersama ke 23 orang santrinya di tahan di penjara Tasikmalaya,” ujar Yusuf Mustafa.

Atas jasa Brigadir Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Raden Panji Nugroho Notosusanto, di tahun 1970an berpangkat Kolonel TNI dan menjabat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, menemukan catatan keberadaan  Kyai Haji Zainal Mustafa.  

Pada tanggal 23 Maret 1970 ditemukan data dari Kepala Kantor Taman Ereveld Belanda atau Taman Makam Pahlawan Belanda  di Ancol bahwa  Kyai Haji Zainal Mustafa bersama 23 orang santrinya telah menjadi hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Ereveld Belanda Ancol, Jakarta.

Baca Juga: Masjid Raya Bandung Kini, Butuh Perbaikan Pasca Renovasi Besar-besaran 2021

“Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 20 November 1972 Kyai Haji Zainal Mustafa diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keterangan Presiden RI Nomor 64 Tahun 1972. Setahun kemudian, tepatnya pada 25 Agustus 1973 makam Kyai Haji Zainal Mustafa bersama 23 orang santrinya atas upaya Kolonel Syarif Hidayat yang juga salah seorang santri Kyai Haji Zainal Mustafa berinisiatif untuk memindahkan jasad  Kyai Haji Zainal Mustafa bersama 23 orang santrinya ke Desa Sukamanah, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, yang kemudian dinamai Taman Makam Pahlawan Kyai Haji Zainal Mustafa,” cerita Yusuf Mustafa.

Memang sangat sulit diterima dengan logika, pada masa itu Kyai Haji Zainal Mustafa dan santrinya hanya menggunakan bambu runcing dan pedang bambu pada pertempuran melawan 6 Kompi Heiho bersenjata lengkap.

 “Ini pedang bambu asli nya berwarna kuning. Disebutnya bambu gombong ini dibentuk sebagai pedang. Sederhana sangat sederhana bentuk nya sangat sederhana karena genting kan saat membuat ini. Nah hitam nya ini darah bukan cat tapi darah Jepang. Masih bau darah,” ujar  Yusuf Mustafa saat menunjukan salah satu pedang bambu yang digunakan untuk melawan Tentara Heiho.

Senjata pedang yang digunakan sang pejuang itu adalah pedang yang terbuat dari bambu gombong. Pedang bambu ini warna aslinya berwarna kuning namun sekarang berwarna hitam. Dikarenakan masih ada bekas darah Jepang yang menempel dan bau amis yang masih tercium dalam bambu tersebut.

Baca Juga: Gedong Pemancar Radio Belanda Cililin, Diakui sebagai Bangunan Cagar Budaya Tapi Tidak Jadi Cagar Budaya

“Pedang bambu ini dapat dari pelaku sejarah namanya saya lupa lagi lah. Sudah meninggal sekarang mah sudah lama. Ini dari putri nya. Kebetulan saya langsung yang menerimanya. Kuning ini tuh neng aslinya mah warna nya kuning. Bambu gombong ini tuh kuning cuma hitam karena  darah, di cat darah ini tuh!. Ini bukti nyata bahwa pedang ini mengeluarkan darah Jepang, tentara Jepang, ujar Yusuf Mustafa.    

Diceritakan Yusuf Mustafa, hunusan pedang bambu ini mampu membuat leher musuh terputus. “Saya bertemu dengan pelaku sejarah yang ikut perang, yaitu Aki Oot yang meninggal pada usia 150 tahun.  Beliau bercerita bahwasanya beliau heran, dengan pedang dari bambu ini, ketika menempel ke leher musuh, leher musuh berhasil putus. Pedang bambu ini lebih tajam dari samurai karena begitu kena dengan musuh pasti lehernya putus. Maka tentara Jepang yang tiga ratus itu, kurang lebih tiga ratus Jepang kan mati saat itu. dari tiga puluh satu truk dan tentara yang tanpa kendaraan itu tiga ratus tentara Jepang mati,” ujar Yusuf Mustafa.

Tentara Jepang takut dengan pedang bambu karena ketajamannya. “Salah satu bukti, bahwa pedang bambu ini lebih tajam dari samurai, setelah pertempuran terjadi disisir semuanya. Senjata itu disisir oleh tentara Jepang. Setelah beliau di tipu daya dengan perdamaian, nah disisir, diambil senjatanya. Tapi tidak semua diambil ada yang masih tersisa di Pesantren dan ada juga yang di ke museum Mandala Wangsit,” ujar Yusuf Mustafa.  

Meski hanya dari bambu, tapi pedang ini berhasil melawan tentara Jepang. “Pedang bambu ini hanya dari bambu biasa yang di bentuk pedang dan panjang. Tapi gatau saat tempur itu memang membunuh Jepang, korban dari Sukamanah hanya delapan puluh enam orang, Jepang tiga ratus orang dan yang tiga puluh satu truk itu sudah tidak ada lagi orang nya, tidak ada lagi penumpang nya. Itu dihitung oleh masyarakat Sukamanah ada saksinya,” pungkas  Yusuf Mustafa mengakhir ceritanya.

Mustafa Yusuf berharap peristiwa heroik yang dialami kakek dan para santrinya menjadi bahan pelajaran, bahwasanya sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi. Sejata pedang bambu dan bambu runcing mampu melawan senjata api (Sintianisa)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler