Anak Ciganitri, Tampilkan Potret Kampung Halaman Yang Hilang

5 November 2020, 19:43 WIB
SALAH satu adegan pegelaran tari kontemporer ‘Ode Anak Ciganitri’, karya koreografer Alfianto bertempat di Gedung Teater tertutup Taman Budaya Jawa Barat pada pegelaran yang diinisiasi UPTD Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Barat. /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Sungguh mengasyikan setiapkali menyaksikan karya-karya tari koreografer Alfianto yang akrab disapa Uda Alfianto.

Siapapun yang menyaksikan tidak perlu berpikir keras untuk menterjemahkan gerakan tarian maupun alur cerita tarian. Meski yang disuguhkan tarian kontemporer.

Seperti pegelaran bertajuk  ‘Ode Anak Ciganitri’, Gedung Teater tertutup Taman Budaya Jawa Barat pada pegelaran yang diinisiasi UPTD Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Barat, beberapa waktu lalu.  

Baca Juga: Obrolan Imajiner Bersama Arifin C. Noer: Untuk Siapa Sebenarnya Film Itu?

Para penari begitu menguasai ruang internal-eksternal tubuhnya dan mampu menciptakan dinamika suasana sehingga tidak terkesan monoton.

Diawali dengan suasana di atas panggung gelap gulita tanpa setitikpun cahaya, sesosok penari topeng berdiri dengan posisi adeg-adeg.

Sayup-sayup dari luar gedung terdengar suara nyanyian serombongan anak kecil, dan saat masuk kedalam gedung suaranya semakin keras, untuk kemudian mereka menaiki gedung pertunjungan dan langsung masuk ke balik panggung sisi kanan.

Baca Juga: Ini Syarat dan Ketentuannya, Iklan Gratis Portal Bandung Timur Peduli UMKM

Masih dengan bernyanyi tembang masa kecil anak-anak kampung, delapan penari remaja menyeruak masuk ke panggung melakukan gerakan ekspresif mengitari penari topeng yang mulai menggeliat. Dengan intensitas dan tempo gerakan yang dinamis, para penari mampu menyampaikan pesan yang hendak diberikan.

Satu jam lebih pertunjukan berlangsung, siapapun yang menyaksikan akan dibuat terkesima dengan penampilan alami karakter anak-anak yang dibawa ke atas panggung. Dan bila mereka menyaksikan langsung pasti akan dipaksa untuk memberikan gemuruh tepuk tangan.

Bukan perkara mudah bagi seorang Alfianto , salah seorang staf pengajar di ISBI Bandung untuk mendirikan Rumah Kreatif Wajiwa di daerah Ciganitri, Bojongsoang Kab. Bandung.

Baca Juga: #PRMN sahabat UMKM Sentuh Pengrajin Opak Tradisional Cibiru

“Tantangan yang didapat adalah menggiring anak-anak usia dini untuk mau berkesenian. Bagi anak-anak tentunya sangat senang, tapi belum tentu dengan orang tuanya yang sangat agresif karena menginginkan anaknya melakoni seni untuk meraih predikat juara,” ujar Alfianto yang akrab disapa Uda Alfianto saat ditanya penonton tentang keberhasilannya membentuk karakter anak sekaligus olah tubuh dan rasa anak ke atas panggung.

Memang bukanlah perkara yang mudah dalam suatu kultur masyarakat Ciganitri yang sebelumnya merupakan hamparan tanah pesawahan dan kolam pembibitan ikan, diajak untuk berkesenian.

Karena bagaimanapun dan sampai kapanpun masyarakat sekitar Ciganitri dan bahkan anak-anak yang seharusnya mewarisi harta kekayaan orang tua serta budayanya, sekarang harus berhadapan dengan urbanisasi, karena sawah dan kolam ikan sudah berubah menjadi pemukiman.

Baca Juga: Innovative Government Award (IGA) Digelar Kemendagri

Karenanya sebagai pengingat, Uda Alfianto dalam setiap karya-karyanya mengajak anak-anak asuhanya yang paling kecil berusia 6 tahun yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan ataupun kondisi sosial.

“Saya berharap mereka tidak lupa akan masa lalunya, tidak lupa akan tanah kelahirannya dulu yang merupakan tanah pesawahan dan kolam terpetak-petak,” ujar Uda Alfianto.

Dalam sesi dialog seusai pertunjukan Doktor Suhendi Apriyanto, M.Sn. mengungkapkan pertunjukan yang dilakukan 50 orang anak-anak usia antara 6 hingga 15 tahunan dari kelompok Rumah Wajiwa Alfiyanto yang selalu menyertakan keceriaan anak-anak yang tampil sangat natural.  

Baca Juga: Persatuan Pelajar Indonesia dan KBRI Turki Meresmikan Endonezya Evi

“Alfiyanto Wajiwa sang koreografer tak canggung untuk memberdayakan masyarakat di seputar lingkungan tempat tinggalnya, yang tengah trauma psikologis karena lingkungan berinteraksinya mengalami desakan hebat karena persoalan urbanisasi,” ujar Suhendi Apriyanto yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor II di ISBI Bandung.

Diungkapkan Suhendi, tercerabutnya kenyamanan serta kedamaian yang menjadi penciri kehidupan mayarakat perdesaan, adalah fenomena menarik yang dimatangkan melalui konsep koreografi Anto (sapaan akrabnya).  

“Anto sangat sadar masyarakat di sekeliling dirinya (terutama anak-anak dan remaja) yang kena dampak stigmatik butuh penyaluran hasrat yang positif agar potensi 'mereka' mengarah pada simpul kreatif,” tambah Suhendi.

Baca Juga: Indonesia-Kolombia Perkuat Kerja Sama di Tengah Pandemi dan Tantangan Global

 Dan benar adanya, Anto tak rikuh dengan sejumlah belia yang dihadapinya bisa menari atau tidak ketika proses kreatif itu dilakukan. Ya, akhirnya 50 bocah-bocah dan remaja itupun secara gemulai membuat konfigurasi gerak yang menarik untuk dinikmati dan seakan telah menepis keraguan siapapun bahwa  mereka sebenarnya bukan para penari profesional, akan tetapi anak-anak terlatih yang potensial, punya disiplin serta kemauan keras yang tampil ekspresif. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler