Pada tahun 1938 seorang Pandu (anggota pramuka) Daeng Soetigna mengembangkan angklung tradisi menjadi angklung dengan nada diatonik. Angklung Daeng turut dimainkan menyambut para tamu pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Kota Bandung.
Kemudian Udjo Ngalegena salah seorang muridnya mengembangkan angklung lebih serius dengan secara rutin menggelar kesenian angklung di sanggar seninya di Padasuka Bandung. Ditangan anak-anak asuh Daeng Soetigna yang diantaranya Udjo Ngalagena angklung semakin berkembang hingga kini dan mendapat pengakuan dari UNESCO. (heriyanto)***