Ada ilustrasi yang menarik tetangga saya; sudah sepuh, sebut saja Ibu Pertiwi. Ia mempunyai 5 orang anak dan semuanya telah menikah, suaminya sudah meninggal, Bu Pertiwi hidup berdua bersama pembantunya. Sementara anak-anaknya tidak tinggal di rumah tersebut. Satu bulan kadang 3bulan anak-anaknya datang menengok dan berkumpul di rumah ibunya; liburan week-end.
Anak, cucu, dan para menantu; gembira ria, suka cita. Kedamaian dan kebahagiaan saat kita melihatnya dari luar dinding mereka. Namun ketika seluruh anak, cucu dan menantunya pulang ke rumah masing-masing, maka rumah itu kembali sepi, lalu bu Marni kembali bersama pembantunya; berdua. Masuk ke kamar tidur nan sunyi, merengkuh di sudut sepi yang hakiki saat itu.
Itukah wujud kedamaian? Itukah rasa kedamaian? Lalu kedamaian itu seperti apa dan buat siapa? Ah, rasanya Ibu Pertiwi semakin dirajah oleh suguhan retorika yang menyejukan hati namun semuanya samar-samar dan semu. (A. Safari)***