Budayawan dan Sastrawan Soni Farid Maulana Telah Berpulang

27 November 2022, 07:53 WIB
Ekspresi Budayawan dan Sastrawan Soni Farid Maulana saat membaca karyanya di pentas. /Foto : Dokumen pribadi/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Assalammualaikum, Bismillahirohmanirrohim Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Bapak Kreator Sonian, Sastrawan dan Budayawan Besar kita telah berpulang kembali pada sang penciptanya Allah SWT. Mohon keikhlasan dan dibukakan pintu maaf yang sebesar besarnya, semoga segala kebaikan dan amal perbuatannya diterima Allah SWT.  Surga menantimu.

Demikian kabar yang diterima melalui pesan WhatsApp Minggu 27 November 2022 pada pukul 04.15 WIB. Demikian pula pesan-pesan yang berseliweran di sejumlah median sosial lainnya, terutama di facebook, kabar tentang wafatnya Kang Soni Farid Maulana banyak disampaikan, oleh rekan-rekan sesama seniman dan budayawan, berbagai ungkapan duka cita atas kepergian sang maestro pengagas puisi gaya Sonian.

Kang Soni Farid Maulana dikabarkan telah meninggal pada Minggu 27 November 2022 pada pukul 03.45 WIB di kediamannya  di Sindangrasa Kecamatan Ciamis Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Almarhum yang sejak memasuki masa pensiun di HU Pikiran Rakyat pada tahun 2015 lalu memilih kembali ke Ciamis bersama keluarganya.

Baca Juga: UPDATE, Hingga Sabtu 26 November 2022 Korban Gempa Cianjur 318 Orang Meninggal Dunia dan 14 Orang Hilang

Saat bertemu terakhirkali pada tahun 2020, diakui Kang Soni Farid Maulana pasca pensiun menjadikan dirinya minim beraktifitas. Kegiatan sehari-hari yang diisi dengan menulis mengakibatkan penyakit gula darah yang sudah dideritanya mulai kembali kambuh pada tahun 2017an.

“Yah mungkin karena aktfitas sehari-hari hanya duduk menulis dan menulis jadi kambuh (penyakit gula darah) dan muncul penyakit lainnya. Paling hanya sesekali bersilatirahmi dan memenuhi undangan untuk diskusi atau pertemuan yang berkaitan dengan puisi atau sastra,” ujar Kang Soni Farid Maulana saat ditemui dirumahnya awal November 2020.

Terakhir mendapat kabar dari almarhum pada pertenganan November 2022 baru lalu. Almarhum berkabar akan mendapatkan Anugerah Budaya dari Dewan Kesenian Tasikmalaya.

Baca Juga: Disdikpora Cianjur Akan Focuskan Lakukan Trauma Healing Untuk Memulihkan Psikologis Dampak Gempa

Dikutip dari biografinya, Soni Farid Maulana, dikenal senagai seorang penulis puisi religius yang mengarah pada sufistik. Lahir di Tasikmalaya Jawa Barat pada tanggal 19 Februari 1962 dari pasangan R. Sarah Solihati dan R. Yuyu Yuhana.

Selain kedua orang tuanya, Soni Farid Maulan juga sangat menyayangi neneknya (Oneng Rohana) yang merawat dan mengasuhnya semenjak ia kecil. Dari neneknya yang juga seorang juru tembang Soni Farid Maulan mengenal puisi, khususnya teks-teks tembang Sunda yang sering didendangkan saat menidurkan Soni Farid Maulana di waktu kecil.

Hal tersebut menempa Soni menjadi seorang penyair yang produktif setelah dewasa. Bahkan, ia juga menulis juga dalam bahasa Sunda. Saat neneknya meninggal tahun 1976, untuk mengenangnya, Soni Farid Maulana menciptakan puisi "Di Pemakaman".

Baca Juga: Menkes Budi Gunadi Sadikin Ingatkan Tenaga Kesehatan Fokus Tangani Korban Bencana Gempa Bumi Cianjur

Soni menikah dengan Heni Hendrayani pada 19 Februari 1990 dan dikaruniai tiga anak. Dia telah menyelesaikan pendidikannya di ASTI Bandung tahun 1986. Setelah itu, Soni bekerja sebagai wartawan Pikiran Rakyat, Bandung akhir Februari 1990.

Meski sudah memiliki pekerjaan tetap, Soni Farid Maulana masih aktif menulis sajak dalam Suara Pembaharuan, Pelita, Suara Karya Minggu, Pikiran Rakyat, Republika, Gelora, Horison, Hikmah Mitra Desa, Mutiara, Ulumul Qur'an, dan Citra Yogya.

Sejumlah karya Soni Farid Maulana antara lain, kumpulan puisi berjudul Bunga Kecubung (1989), Dunia Tanpa Peta (1985), Krematorium Matahari (1985), Para Penziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu dalam Hujan (1996), dan Sehabis Hujan (1996).

Juga dalam buku Angsana (Ultimus, 2007), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Variasi Parijs van Java (Kiblat, 2004), Tepi Waktu Tepi Salju (Kelir, 2004), Selepas Kata (Pustaka Latifah, 2004), Kalakay Mega (1992), dan Peneguk Sunyi (2009).

Baca Juga: Pemerintah Anjurkan Masyarakat Lakukan Vaksin Covid-19 Dosis ke Empat atau Booster Kedua

Sejumlah puisinya juga dimuat dalam antologi bersama, antara lain, Tonggak jilid 4 (1987), Malam 1000 Bulan (1992), Seratus Sajak Sunda (1992, Ed. Abdullah Mustappa), Orba (1993), Dari Negeri Poci 2 (1994, ed. F. Rahadi), Sajak Sunda Indonesia Emas (1995, ed. Abdullah Mustapa dan Taufik Faturohman).

Dua kumpulan puisinya,Sehampar Kabut masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006, dan Angsana masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sebagai jurnalis pun Soni Farid Maulana mendapat hadiah dari PWI Pusat, yakni Anugerah Jurnalistik Zulharmans pada tahun 1999 atas sebuah esai yang ditulisnya berjudul Penyair Taufiq Ismail Peka Sejarah.

Pada tahun yang sama, Soni Farid Maulana juga mendapat Hadiah Sastra LBSS untuk sebuah puisi Sunda yang ditulisnya. Selain mendapat penghargaan, puisi-puisi yang ditulisnya banyak yang dibahas, baik dalam bentuk esai, skripsi, maupun disertasi. Salah seorang penulis asing yang menulis puisi Soni Farid Maulana untuk disertasinya adalah Ian Campbell dari Australia.

Puisinya selain diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga ke dalam bahasa Jerman dan Belanda. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. A. Teeuw dan Linde Voute dalam antologi Winternachten (1999).

Sementara dalam bahasa Jerman, beberapa puisinya terbit di majalah Orientirungen (2000) melalui terjemahan Berthold Damshäuser. Soni Farid Maulana juga menulis puisi dengan latar belakang luar negeri. Sejumlah puisinya bertema musim dingin, baik mengenai Paris, Den Haag, Leiden, maupun sejumlah tempat lainnya di Eropa.

Dua puisi yang cukup menggetarkan, antara lain, berjudul "Di Negeri Salju" yang didedikasikan kepada Rendra, dan "Berjalan di Pinggir Sungai Seine" yang dipersembahkan kepada istrinya. Kedua puisi tersebut ditulis pada tahun 1999 saat Soni Farid Maulana berkesempatan pergi ke  Belanda, mengikuti Festival de Winternachten bersama Rendra, setelah itu melanjutkannya ke Paris.

Selain menulis puisi, ia juga senang menulis cerpen. Beberapa kumpulan cerpennya antara lain, Orang Malam (Q-Press, 2005), Di Luar Mimpi (1997), Kita Lahir sebagai Dongengan (2000), dan Palung Rasa (2001).  "Saya rasa sudah cukup saya bergelut dengan puisi, mudah-mudahan Februari 2008 saya akan menerbitkan dua kumpulan puisi terakhir. Puisi yang bersumber Hadis Muhammad dan Alqur'an akan menjadi penutup kumpulan puisi saya,” ungkap Soni Farid Maulana pada waktu itu.

Sementara diajang forum naional maupun internasional Soni Farid Maulana pernah menghadiri dan tampil  di Forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan DKJ, Asean Writers Conference IV (1990) di Queezon City, Filipina, Festival de Winter-nachten di Den Haag, Belanda (1999), Puisi International Indonesia di Bandung (2002), International Literary Biennale 2005, Living Together di Bandung (2005).

Budayawan Yakob Sumardjo berkomentar bahwa membaca sajak-sajak Soni Farid Maulana akan terasa penguasaannya terhadap idiom-idiom puitik modern. Imajinya terasa cerdas, otentik dan di luar dugaan. Benny Yohanes (dalam Berita Buana 27 Januari 1987) menyatakan adanya "aspek religius yang menandai hubungan vertikal antara makhluk dan Khaliknya yang muncul sebagai arus kuat dalam meraih posisi makna hidupnya. Pada Soni Farid Maulana, arus itu sama nilainya dengan ketentraman dan katarsis diri,” ujar Yakob Sumardjo dalam testimoninya tetang Soni Farid Maulana.

Dalam kumpulan sajaknya yang awal, Soni lebih banyak mengungkapkan dunia kesendiriannya, dunia seorang lelaki yang ditekan oleh kesunyian. Dunia remaja yang masih kalut untuk menentukan nilai yang harus dipegang.

Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, menurut Micky Hidayat, Soni Farid Maulana tampak mempunyai warna tersendiri. Dia memperlihatkan sosok kepenyairannya yang mendalam, yang tercermin pada tema-temanya yang luas tentang pengembaraan rohani, masalah sosial, cinta alam, kemanusian, perenungan diri, dan religiusitas.

Isbedy Setiawan ZS berpendapat bahwa sajak-sajak Soni Farid Maulana memakai idiom (simbol) batu, baja, burung, mawar, daun, lautan maupun embun. Dari pilihan simbol ini disimpulkan bahwa Soni, selain berjiwa halus dan dingin seperti batu, juga memiliki cinta seperti mawar atau burung karena menyadari bahwa sesungguhnya nasib manusia bagai setetes embun di atas daun yang sesaat akan terjatuh ke tanah. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler