Dibalik Cerita Goa Jepang Majalengka, Bukti Sejarah Terabaikan

- 13 Juni 2023, 15:16 WIB
Kondisi Goa Jepang yang pada masa penjajahan Belanda dijadikan Bungker di bawah jembatan  Jalan KH. Abdul Halim, Kelurahan Tonjong, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka,  kondisinya kurang terawat.
Kondisi Goa Jepang yang pada masa penjajahan Belanda dijadikan Bungker di bawah jembatan Jalan KH. Abdul Halim, Kelurahan Tonjong, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, kondisinya kurang terawat. /Portal Bandung Timur/ Wulan Cahya Fitriani/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Teriknya sinar mentari, seolah menjadi teman perjalanan di Kota Majalengka. Kota selama ini di kenal sebagai  Kota Pensiunan dan daerah penghasil kecap.

Melalui keramaian penduduk dan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang, dapat kita rasakan bagaimana ramainya kawasan Kota Majalengka sekarang ini. Diantara keramaian,  ada satu objek yang sangat menarik perhatian.

Di bawah jembatan, Jalan KH. Abdul Halim, Kelurahan Tonjong, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka,  terdapat satu bangunan tua. Bangunan yang seakan-akan merasakan kesepiannya di tengah keramaian kota, yang dikenal masyarakat sekitar sebagai Goa Jepang.

Majalengka yang juga dijuluki Kota Angin, menjadi salah satu bukti bagaimana kejamnya para penjajah Jepang terhadap kaum pribumi. Seolah belum cukup penderitaan dari para penjajah, rakyat pribumi juga harus mendapat rasa sakit atas penghianatan yang dilakukan saudara sebangsanya sendiri.

Baca Juga: Di Balik Dinding Rumah Bersejarah Inggit Garnasih, Ada Banyak Cerita Tentang Inggit dan Sang Proklamator

Pada zaman pendudukan Jepang, keringat dan jerit kelelahan orang-orang pribumi yang ditugaskan untuk memperbaiki bangunan peninggalan Belanda. Ternyata hanya dibayar oleh pengkhianatan orang pribumi yang tidak memberikan upah yang seharusnya mereka dapatkan.

“Kata Bao yang waktu itu diwawancara, katanya memperbaiki Goa Jepang itu dikasih upah, jadi bukan Romusha. Ada dananya, cuma uang untuk bayar kuli itu kalau zaman sekarang dikorupsi, diambil sama Cutak atau orang yang memerintah para pribumi dalam memperbaiki bangunan ini,” cerita Nana Rohmana yang akrab disapa Kang Naro Ketua Grup Majalengka Baheula.

Diungkapkan pria berusia 49 tahun, seolah belum cukup menjadi saksi bisu atas penderitaan kaum pribumi di zaman penjajahan dulu. Bangunan Goa Jepang juga harus menjadi saksi bagaimana generasi penerus dari para pejuang, belum bisa menghargai dan menjaga peninggalan para leluhurnya dengan baik.

Baca Juga: Raffi Ahmad dan Fuji Meriahkan Live Fashion & Beauty Terbesar di Kampanye 7.7 Shopee Live Bombastis Sale

Ketika melihat dari jarak yang lebih dekat, akan terlihat dengan jelas banyak sekali coretan yang seakan menjadi hiasan di dinding bangunan ini. Padahal, bangunan yang seharusnya diresmikan menjadi salah satu bangunan cagar budaya ini dirawat dengan baik oleh masyarakat Kabupaten Majalengka, khususnya Kota Majalengka.

"Saya pernah nyusuri siapa yang coret-coret? Ternyata anak dari daerah Maja. Malah ada anak-anak dari Panyindangan, makanya saya ngasih pelajaran. Maksudnya pelajaran itu kita menjelaskan bahwa Bunker ini dulunya tempat sel tahanan, tempat penyiksaan. Mungkin saja saya bilang, ini yang pernah ditahan ini aki atau buyut sampean,” ujar Kang Naro.

Sayangnya, karena bangunan Goa Jepang yang memiliki nilai sejarah ini belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Sehingga para pelaku perusakan Goa Jepang bernilai sejarah tidak mendapatkan sanksi hukum dan hanya dapat diselesaikan secara kekeluargaan.

Baca Juga: Masjid Babussalam, Rumah Angker Jadi Masjid Indah dan Megah Bergaya Timur Tengah

Padahal, Goa Jepang merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki oleh rakyat di Kota Majalengka. Goa Jepang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat Majalengka.

“Goa Jepang itu sebenarnya penyebutan zaman sekarang. Goa Jepang itu sebenarnya sejak zaman Belanda sudah ada. Dalam keterangan buku Selayang Pandang Sejarah Majalengka yang dicatat tahun 1981 bahwa pemerintahan colonial Belanda membangun Markas Marsose Belanda pada tahun 1923. Sebagai markas besar Marsose otomatis sekaligus fasilitas yang ada disitu, yang pertama berbentuk Barak-barak tentara, kemudian ada beberapa bangunan untuk komandan Marsose, kemudian ada Water Toren untuk penyediaan air di lingkungan Markas Besar Marsose, kemudian bunker-bunker pertahanan,” ujar  Kang Naro.

Bunker pertahanan pada masa Kolonial Belanda digunakan sebagai tempat untuk mengamankan senjata yang mereka miliki. Selain itu, bangunan ini juga digunakan sebagai tempat pengintaian untuk memata-matai kaum pergerakan di Majalengka, seperti pergerakan yang diketuai oleh KH. Abdul Halim dan pergerakan lain yang harus diwaspadai oleh Kolonial Belanda, yaitu pergerakan yang diketuai oleh Ki Adnawi dari daerah Panyindangan yang mengaku sebagai Ratu Adil.

Kemudian pada masa pendudukan Jepang, mereka merenovasi bunker ini dengan menggunakan tenaga pribumi dan digunakan sepenuhnya oleh Jepang sebagai tempat penyimpanan senjata dan tempat untuk menawan musuhnya, baik pribumi maupun tentara Belanda yang berhasil mereka tangkap. Oleh karena itu, bangunan ini justru lebih dikenal orang-orang dengan sebutan Goa Jepang.

Kondisi Goa Jepang yang dijadikan bungker pada masa penjajahan Belanda jadi sasaran vandalisme.
Kondisi Goa Jepang yang dijadikan bungker pada masa penjajahan Belanda jadi sasaran vandalisme.
Ketika Belanda kembali datang setelah kemerdekaan, bunker ini juga menjadi saksi bagaimana keharmonisan rakyat Majalengka seolah direnggut paksa oleh dua kekuasaan yang berkuasa di wilayah Majalengka. Jembatan yang berada di atas bunker ini digunakan sebagai pembatas diantara dua kekuasaan.

Bagian dari Jembatan Tonjong ke Majalengka kota kembali didapatkan oleh pihak Belanda, sedangkan sisi lain dari jembatan tersebut menjadi kawasan yang berhasil dipertahankan oleh Tentara Republik Indonesia.

Sebelum covid, bangunan yang lokasinya berada di Jalan KH. Abdul Halim, Kelurahan Tonjong, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka ini sudah pernah melalui tahap perbaikan. Pada proses perbaikan ini ada beberapa bagian dari bangunan yang diperbaiki, seperti bagian dinding yang menghubungkan antara satu pintu dengan pintu yang lain ditambahakan dengan batu-batuan agar lebih kokoh dan terjaga dari longsor.

Namun sayangnya, dalam proses perbaikannya, tim ahli cagar budaya tidak dilibatkan. Sehingga tidak menerapkan aturan-aturan dalam memperbaiki sebuah bangunan cagar budaya, dan justru malah mengubah bentuk asli bangunan bersejarah ini. (Wulan Cahya Fitriani)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah