Meskipun banyak media yang menyebutkan berdirinya Klenteng Hok Lay Kiong, karena perpindahan penduduk Tionghoa yang ada di Batavia ataupun berawal dari pemberontakan. Namun yang pasti adanya Klenteng Hok Lay Kiong menunjukkan adanya eksistensi masyarakat Tionghoa di Bekasi pada abad ke-18 Masehi yang datang ke Batavia, khususnya di wilayah Bekasi.
“Ya mungkin itu juga benar. Orang Cina hanya fokus di perdagangan mereka gak ikut peperangan atau apa pun itu,” ujar Benny Anam ketika ditanya mengenai perbedaan versi sejarah Klenteng Hok Lay Kiong.
Klenteng Hok Lay Kiong selain sebagai rumah peribadatan Tridharma, juga sebagai tempat bagi 22 dewa beserta altarnya. Klenteng ini memang terkesan luas, dan terdiri dari dua lantai.
Akan tetapi, bangunan saat ini merupakan hasil pemugaran dari bangunan aslinya, yang pada awalnya Klenteng Hok Lay Kiong. merupakan Klenteng kecil. “Nah ini kan dipanggilanya altar, altar ini gak gede. Tadi Kelenteng cuman tiga pintu, satu, dua, tiga pintu. Nah panjangnya cuman segini sampe sini doang. Kesononya kebon,” ujar Benny Anam.
Pemugaran Klenteng Hok Lay Kiong sebenarnya memberikan manfaat praktis yang positif. Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat Tionghoa khususnya di Bekasi.
Memang terdapat sisi positif dari pemegaran yang berfokus pada aspek praktis, namun tidak dapat diabaikan pula sisi negatifnya terutama dalam hal nilai sejarah. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa bagian orisinal dari Kelenteng ini hanya terbatas pada atap dan kerangka kayu. Sisanya merupakan hasil dari pemegaran. “Jadi gini ya, orang kita, barang purbakala itu atau barang antik langsung buang saja. Bongkar buang. Gitu sayangnya.” ujar Benny Anam. Mungkin karena hal ini, para jemaah yang ada tidak menyadari betapa berharganya Kelenteng ini dan sejarah yang terkandung di dalamnya.
Di sisi lain, pemerintah pusat telah menunjukkan kesadaran dalam mengurus benda bersejarah melalui penerbitan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. UU ini secara jelas menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah daerah dalam melindungi dan memelihara benda-benda bersejarah serta masyarakat yang terkait dengannya.
Meskipun Kota Bekasi sudah berusia 26 tahun dan telah memiliki 9 wali kota yang menjabat, belum terlihat pergerakan dari pemerintah daerah dalam menjaga bangunan tertua di Bekasi, yaitu Kelenteng ini. Mengapa hal ini terjadi? Padahal, banyak dampak positif yang dapat diperoleh Kelenteng ini apabila pemerintah daerah ikut serta dalam pengelolaannya.