Manusia Tangguh Itu Bernama Seniman

- 9 November 2020, 11:58 WIB
SALAH satu adegan pegelaran sandiwara tradisional Masres Grup Galu Ajeng pimpinan Atik Permana yang akrab disapa Mama Gawil di desa Celeng, kecamatan Lohbener, kabupaten Indramayu, pada pegelaran virtual yangdi fasilitasi UPTD Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Barat.
SALAH satu adegan pegelaran sandiwara tradisional Masres Grup Galu Ajeng pimpinan Atik Permana yang akrab disapa Mama Gawil di desa Celeng, kecamatan Lohbener, kabupaten Indramayu, pada pegelaran virtual yangdi fasilitasi UPTD Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Barat. /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR – Menyusuri jalur Pantura (Pantai Utara) mulai dari Cirebon mengambil jalan lurus ke arah barat, memori langsung kembali pada masa-masa sebelum ada jalan tol Cipali di mana daerah tersebut terkenal jalur macet. Betapa tidak, karena itulah salah satu jalur terpadat kendaraan besar dari arah Jakarta menuju Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Sekarang situasinya sangat berbalik, selepas kompleks astana Gunungjati, kendaraan bisa melaju cukup nyaman dengan jalan lebar empat lajur yang lurus dan agak lengang. Tak terasa dalam hitungan tak kurang dari enam puluh menit sudah sampai di desa Celeng, kecamatan Lohbener, kabupaten Indramayu, dan inilah persinggahan kami untuk menyaksikan tonil yang cukup populer di tahun 60 sampai 80-an

Tonil adalah bentuk sandiwara rakyat yang oleh masyarakar Cerbon dan Dermayu disebut Masres. Seni tontonan yang pernah menjadi primadona di wilayah kaleran ini, jumlahnya bisa sampai ratusan grup dan kesemuanya dapat eksis dalam suatu bingkai seni tradisional yang cukup menghibur.

Baca Juga: Bandung Kulon Tertinggi Kasus Covid-19

Ceritera yang akrab dengan komunitas pendukungnya tak lepas dari ceritera rakyat, sejarah, babad, legenda, ceritera para Wali Sanga dalam syiar Islam, dan sesekali ceritera wayang. Dalam rentang 30 tahunan, bentuk seni tontonan sekaligus tuntunan ini seakan membumi bahkan mengakar secara turun temurun. Namun kejayaannya, kini sudah mulai memudar, apalagi ditimpa pandemi yang tak kunjung usai, tak sedikit yang sudah mulai kolaps.

Ketika kami singgah di salah satu grup Masres yang masih bertahan, wajah-wajah sumringah pun mulai tampak. Di panggung depan, sudah berkumpul sekelompok wiyaga (sebutan lain musisi) dengan seragam yang agak tak lazim (layaknya busana para wiyaga tradisi), yakni mereka mengenakan pakaian pilot pesawat lengkap dengan dasi dan identitas kepangkatan di pundaknya. Pangkatnya bervariasi, ada yang strip dua, tiga, sampai lima, dan tentu semua ada maknanya.

Di pinggir dan belakang panggung utama, beberapa pemain tengah merias wajahnya masing-masing hanya beralaskan tikar dan sekat seadanya. Kami berfikir inilah potret seniman yang sederhana, tidak macam-macam, atau tidak banyak menuntut fasilitas, namun mereka bersikap profesional. Selang beberapa menit, riasan dan pemakaian busana sudah selesai, sang sutradara memanggil semua pemain yang sudah menjelma sebagai raja, permaisuri, prajurit, siluman, serta peran lainnya.

Baca Juga: Di Markasnya The Gunners Tak Berpeluru

 Setelah berkumpul, sutradara hanya mengarahkan dengan bahasa lisan pada masing-masing tokoh (tanpa naskah) termasuk mereka harus bicara apa dan bagaimana seharusnya berakting. Maka setelah bunyi gamelan terdengar, itu pertanda pertunjukan harus segera dimulai. Enam puluh lima menit berlalu, kami terhibur dan takjub dengan aksi panggung mereka yang membawakan ceritera legenda. Hanya satu kata yang terucap luar biasa.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x