Sérén Taun, Penghormatan Terhadap Padi

- 18 November 2020, 07:00 WIB
WARGA kampung adat Ciptagelar Banten Kidul membawa ikatan padi dari sawah untuk dimasukan ke leuit (lumbung padi) atau ampih pare.
WARGA kampung adat Ciptagelar Banten Kidul membawa ikatan padi dari sawah untuk dimasukan ke leuit (lumbung padi) atau ampih pare. /Nana Munajat Dahlan/

PORTAL BANDUNG TIMUR – Upacara kesuburan ini terkait dengan kepercayaan terhadap Dewi Padi atau Dwi Sri. Nama Dewi Sri dalam khasanah kepercayaan Sunda memiliki nama lain yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Sri, Nyi Dangdayang Tresnawati bahkan dalam mitologi Kanekes, Dewi Sri berada diurutan teratas.

Orang Kanekes membagi alam ini menjadi tiga macam, yaitu (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayan Sang Hyang Keresa, yang letaknya paling atas, (2) Buana Panca Tengah, tempat manusia dan mahluk lainya berdiam, dan (3) Buana Larang, yaitu neraka.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang.

Baca Juga: Seren Taun, Air Sumber Kehidupan

Lapisan alam tersebut merupakan tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu. Upacara-upacara itu tampak pada siklus alam, siklus pertanian dan silklus kehidupan. Upacara tersebut senantiasa dihantar dan bahkan menjadi ’patron’ keberlangsungan seni tradisi.

Serén Taun dan Pola Bercocok Tanam

Pada masyarakat petani yang menjadi obsesi utama melimpahnya hasil panen baik dalam tatanan pertanian huma atau ladang maupun sawah petani mina (nelayan) setiap kali melakukan aktivitasnya diawali dengan upacara khusus.

Seperti pada kegiatan bercocok tanam diawali dengan ’Upacara Ngiriman’. Adapun tahapan mengolah tanahnya diawali dengan nyacaratau babad berupa membersihkan jerami, mopok, ngawalajar atau meratakan permukaan tanah, ngambangkeun, nyingkal atau membajak, nganglér atau meratakan tanah setelah dibajak.

Baca Juga: Ditengah Pandemi Covid, Tahun 2021 Xiomi Berencana Rekrut 5000 Engineer

Kemudian kegiatan nampingan atau meluruskan pematang sawah, nyaatan atau mengeringkan petakan sawah agar tanahnya menjadi gembur, nyaplak atau meratakan permukaan tanah sawah agar mudah untuk ditanami, bébécék kegiatan penyemaian benih, dan tebar atau menaburkan benih.

Seterusnya berupa nyawen tradisi sasaji yang dimasukan dalam saung sanggar dihias oleh barangbang kawung atau pelepah enau, pacing, tebu, sulangkar, bekatul dibungkus. Kemudian tandur dengan upacara nitipkeun, paré lilir atau daun padi tumbuh menghijau atau gumunda.

Setelah tanaman padi tumbuh kegiatan yang dilakukan berupa ngajorag  atau membersihkan rumput liar pertama kali, ngarambét mindo atau membersihkan rumput liar yang kedua kali.

Baca Juga: DPU Kota Bandung Tidak Ada Target Tanam Pohon

Upacara ngahormat Déwi Sri ini, dilanjutkan dengan ngeusian paré reuneuh atau upacara mengisi salah satu padi dengan bekatul, maksudnya agar butir-butir pada berisi dan berbuah banyak. Tradisi nyalin atau panen perdana, dengan mengambil pada ibu atau bibit unggul untuk benih.

Diteruskan ampih pare atau memasukan padi ke lumbung, nganyaran, atau menumbuk padi perdana di saung lesung, kemudian berasnya sebagian dimasukan kedalam goah atau tempat menyimpan beras di dapur yang disebut netepkeun.

Sedangkan pada masyarakat ladang seperti masyarakat pada kasepuhan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi diawali dengan ngaseuk. Ada dua jenis ngaseuk yaitu ngaseuk paré abah dan ngaseuk paré incu abah.

Baca Juga: Normalisasi Sungai Cipamokolan Terkendala Bangunan

Pada tahap ngaseuk disertai ngirim do’a, makan bersama, kemudian persembahan pantun yang lakonnya tentang ngaseuk, persembahan pantun pada ritual ngaseuk dilakukan semalam suntuk, yang disambung pada pagi harinya dengan pergelaran wayang golék dan jipéng.

Setelah ngaseuk dilanjutkan dengan upacara Sapangjadian Paré (munculnya tunas), ngarambas mapag paré beukah (padi merekah), sawénan, prah-prahan, mipit, ngunjal  atau proses pengangkutan padi secara bersama-sama, dipikul menggunakan rengkong.

Kemudian ngadiukeun atau menyimpan padi ke dalam lumbung, nutu paré anyar, nganyaran (ngabukti), pongokan (laporan penyerahan harta kekayaan seluruh warga kepada sesepuh Girang.Puncak acaranya upacara Sérén Taun.

Baca Juga: Fakta Hukum di Balik RUU Minol

Serén Taun Sebagai Ruang Hidup Seni Tradisi

Dalam kegiatan ritual Sérén taun  sering menghadirkan kesenian tradisi,mereka seniman tradisi bahwa ritual pada tradisi pertanian menjadi ruang hidup bahkan kegiatan ritual dapat dikatakan sebagai penyangganya keseniannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sediawaty bahwa:

 Seni pertunjukkan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan ia tumbuh dalam lingkungan-lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan etnik ini, adat atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah-bangkitnya kesenian, seni pertunjukkan pada pertunjukkan.

Peristiwa keadatan merupakan landasan eksistensi yang utama bagi pagelaran-pagelaran atau pelaksanaan seni pertunjukkan, terutama yang berupa tarian yang diiringi bunyi-bunyian, sering merupakan pengemban dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir, tetapi juga tidak jarang merupakan semata mata syukur pada terjadinya peristiwa peristiwa tertentu”.

Baca Juga: Gugus Tugas Covid-19 Kota Bandung Diperintahkan Bersikap Tegas

Adapun seni tradisi yang dijadikan sebagai penghantar penghormatan kepada Pohaci ini adalah Seni Pantun, Angklung buhun dogdog lojor, utunggulan, wayang golék, jipéng dan seni pantun.

Séren Taun Dalam Bingkai Tali Paranti

Upacara Sérén taun tidak akan memunculkan maknanya apabila tidak berkaitan dengan siklus bercocok tanam berdasarkan tali paranti. Upacara Sérén Taun merupakan gambaran kesetiaan terhadap pola tanam lama, dan kesetiaan terhadap tali paranti.

Apabila hanya melakukan upacara ngarak padi dengan réngkong, dan memasukan padi ke dalam leuit atau lumbung, tanpa berkaitan dengan tradisi bercocok tanam berdasar tali tali paranti menurut masyarakat kasepuhan Sirnaresmi dan Ciptagelar, sérén taun tersebut hanya cangkang yang hampa isi.

Baca Juga: Evereld Pandu, Kompleks Pemakaman Belanda di Kota Bandung

Sérén taun local wisdom masyarakat adat, pola bertani ramah lingkungan, dan membumi. Dari mulai benih, pupuk, pembasmi hama produk sendiri, tak tergantung pada   produk luar, tanahnya sehat, petaninya kuat. Padinya, berasnya tak dijual, disimpan di lumbung, stok beras melimpah ruah, ketahanan pangan terjaga.

Ini kearifan lokal yang mengingatkan kita agar tak tergantung pada yang lain, agar dapat menyimpan beras, demi hari esok, demi tercukupinya kebutuhan pangan yang mendasar.

(Mas Nana Munajat Dahlan/Pemerhati Seni Budaya Tradisional Jawa Barat)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x