Petik Pelajaran Hidup dari Cerita Petugas Pemulasara di Rumah Duka Dustira

- 17 Juni 2023, 17:49 WIB
Petugas pengurus jenazah atau pemulasaran di Rumah Duka Dustira membutuhkan kesabaran dibarengi keiklasan dalam mengurus jenazah.
Petugas pengurus jenazah atau pemulasaran di Rumah Duka Dustira membutuhkan kesabaran dibarengi keiklasan dalam mengurus jenazah. /Portal bandung Timur/Marsha Reviana/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Di depan bangunan tua bercat putih di Jalan Jenderal Sudirman, Baros, Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, kita telah disambut dengan sebuah tulisan Rumah Duka Dustira. Ketika menelusuri koridor kosong nan sunyi, nampak ada tiga orang petugas yang tengah membawa keranda.

Ketiganya, Deden (47), Asep kurnia (45) dan Regiansyah (23) berpakaian dan peralatan lengkap sebagai petugas pengurus jenazah atau petugas pemulasaran. Tampak ketiganya begitu cekatan dalam memindahkan mayat ke kamar jenazah, dengan jam kerja yang cukup padat dari jam 8 pagi sampai bertemu di jam 8 pagi lagi.

Tingginya kebutuhan hidup membuat ketiganya masih bersyukur atas pekerjaannya selama ini. Bahkan ketiganya merasakan betapa keberadaannya sebagai petugas pemulasaran sangat dibutuhkan keluarga korban.

Baca Juga: Abah Ruslan, Memanfaatkan Kedekatan dengan Anak Muda Pasarkan Sepatu Buah Tangannya

Kisah awal salah seorang petugas pemulasaran ini menuai hikmah bagi kita bahwa kehidupan ini penuh dengan impossibilitiy. Ada  banyak kemungkinan-kemungkinan saat kita menjalaninya.

“Awal menjadi petugas pemulasaran karena ada tawaran kerja dan saya langsung menemukan kecocokan kenyamanan di tempat ini. Dulu saya penyuluh agama di Kemenag Kota Cimahi dan juga mengajar di beberapa SMP Cimahi, kemudian karena harus memilih jadi saya meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan menekuni di bidang ini sampai sekarang 8 tahun,” cerita Deden.

Deden yang mempunyai dua anak ini memiliki sikap yang ikhlas dalam bekerja membuatnya menetap hingga 8 tahun lamanya, dari beliau kita belajar bahwa kehidupan sering berubah-ubah seperti masa Pandemi Covid-19 yang tengah-tengah muncul di hadapan kita membuat para petugas pemulasaran menjadi garda terdepan dalam menghadapinya.

Baca Juga: Ki Dalang Awan Kartanda Suanda Ade Kosasih, Hade Goreng Ku Basa

Deden sedikit bercerita saat masa pandemi dimana kesibukannya sebagai petugas pemulasaran begitu menyita waktunya.  “Kesibukannya sangat padat 24 jam tidak bisa tidur, apalagi pas puncak-puncaknya di Juni-Juli 2022, rekor saya pernah pemulasaraan jenazah dalam waktu 24 jam melaksanakan 20 pelayanan terhadap jenazah Covid-19,” cerita Deden.

Diceritakan Deden, sekali pelayanan selama 1 jam, APD terus diganti ketika 1 jenazah telah selesai di pemulasaran. “Belum lagi ada kendala penolakan-penolakan tidak mau protokol Covid-19 tapi setelah dijelaskan mereka nerima,” ujar Deden mengenang. 

“Kalau pandemi gak ada istirahat dibandingkan dengan sekarang. Dulu tidak bisa sesantai ini kadang yang meninggal pasien Covid juga sampai puluhan. Pas covid bisa istirahat cuman tanggungan kerja harus dilaksanakan dibandingkan dengan sekarang bisa nyantai. Udah mulai agak jarang lah yang meninggal karena Covid jadi lumayan tidak terlalu banyak kegiatan,” ujar Regiansyah menambahkan.

Baca Juga: Puteri Wisata Seni Indonesia Ajen Campakararang Ciptakan WaTiPlas Mendapat Apresiasi

Seiring berjalannya waktu masalah itu pun bisa kita lewati. Tangguhnya para petugas pada masa pandemi menyadarkan kita bahwa kita pun hendaknya tidak memandang sebelah mata terhadap mereka, karena pekerjaan mereka terlampau mulia jika kita masih memiliki hati nurani.

“Seharusnya ada sedikit pengertian dari masyarakat karena kan biasanya kerja kayak gini rata-rata gak semuanya sama dipandang sebelah mata lah ya, menurut saya harapan kedepannya mudah-mudahan lebih ini lagi lah lebih menghargai dalam bidang ini,” ujar Regiansyah.

Jika kita renungi pekerjaan petugas pemulasaraan bukanlah tugas yang hina, mengapa? Karena tanpa mereka mungkin banyak mayat yang terbengkalai dan membusuk di kamar jenazah akibat tidak adanya penanganan yang khusus terhadap mayat.

 Seharusnya kita pandang pekerjaan ini adalah pekerjaan yang sangat-sangat mulia karena setidaknya menjadi remainder untuk kita bahwa dunia hanyalah sementara, dan peristirahatan terakhir kita ialah pusara yang diselimuti tanah merah.

Baca Juga: Pak Deki, Batik Pemdulum dan Filosofi Hidup

“Jadi pembelajaran buat diri pribadi kalau kerja di sini tuh, sadar diri bahwa suatu saat saya juga sebagai petugas akan diperlakukan di pulasara sama orang lain. Jadi Taqarrub Ilallah, setiap selesai melaksanakan di sini pulang ke rumah, banyak pelajaran untuk semakin meningkatkan diri untuk memperbanyak bekal,” ujar Deden diamini kedua rekannya, Asep Kurnia dan Regiansyah.

Kemudian keluarga yang ditinggalkannya yang bersedih menurut Deden,  bisa mereka redam kesedihannya. “Kami doakan, jenazah yang meninggal kami urus sesuai dengan kemampuan saya, pemulasaraan sesuai dengan sunnah syariat Islam jika muslim. Jadi nyaman dan banyak kesan-kesan yang menarik di unit kamar jenazah, yang paling penting semakin hati-hati hidup semakin mendekatkan diri, itu kepuasan batin yang muncul di sini.” ujar ketiganya.

Satu hal yang pasti dari kisah mereka ialah mengajarkan kita bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara. Mungkin banyak mata yang memandang pekerjaan mereka rendah, padahal jika kita telaah bahwa prestasi tertinggi bagi seseorang bukanlah ia yang mempunyai gelar yang banyak, bukanlah ia yang mempunyai piala yang berlimpah, namun prestasi tertinggi seseorang ialah ia yang bermanfaat bagi orang banyak.

Karena hidup ini hanyalah sementara maka mengingat kematian di selang-selang pekerjaan kita haruslah terlintas. Agar kerja tidak hanya kerja, namun kerja yang terbungkus niat ikhlas. (Marsha Reviana)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah