Perubahan Iklim Global dan Kerusakan Lingkungan, Jadi Biang Penyebab Bencana di Tanah Air

- 25 April 2021, 00:36 WIB
Warga tengah membersihkan rumahnya yang terkena sapuan angin puting beliung di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu. Bencana  hidrometeorologi dalam 5 tahun terakhir akibat perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan.
Warga tengah membersihkan rumahnya yang terkena sapuan angin puting beliung di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu. Bencana hidrometeorologi dalam 5 tahun terakhir akibat perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan. /Portal Bandung Timur/hp.siswanti

PORTAL BANDUNG TIMUR -  Dalam periode 5 tahun terakhir bencana hidrometeorologi,  banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, puting beliung, gelombang tinggi, dan siklon tropis meningkat tajam. Kejadian cuaca dan iklim ekstrem dipicu perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan.

Demikian disampaikan Kepala  Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati dalam paparannya di acara Focus Group Discussion (FGD) di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Kemayoran, Jakarta.

“Periode ulang anomali iklim global La Nina dan El Nino sebelum tahun 1980 adalah 5-7 tahun sekali. Namun dalam 40 tahun terakhir menjadi 2-3 tahun sekali. Begitu pula kejadian siklon tropis yang dimonitor BMKG sejak 2008, sebelumnya terjadi dengan periode ulang 2-4 tahun sekali, namun sejak 2017 terjadi setiap tahun dan bahkan dalam 1 bulan dapat terjadi beberapa kali,” jelas Dwikorita Karnawati

Baca Juga: Kapal Selam Nanggala 402 Diisyaratkan dari Submiss Menjadi Subsunk

Menurut Dwikorita Karnawati, peningkatan juga terjadi pada kejadian gempabumi. Data BMKG mencatat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata sebanyak 5.000-6.000 kali dengan berbagai kekuatan dalam setahun.

“Namun pada 2017 kejadian gempabumi meningkat menjadi 7.169 kali. Bahkan pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 11.400 kali,” ujar Dwikorita Karnawati.

Menurut Dwikorita Karnawati, BMKG mencatat pada 2020 kejadian gempabumi masih di atas rata-rata tahunan yaitu 8.258 kali. Awal 2021 tercatat selama Januari telah terjadi 662 kali, melampaui kejadian gempabumi rata-rata bulanan yang berkisar antara 300 sampai 400 kali kejadian.

"Fakta situasi ini menjadi alarm bagi kita semua untuk segera melakukan peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana di daerah dan di masyarakat. Agar Zero Victims dapat benar-benar terwujud," ujar Dwikorita Karnawati.

Baca Juga: Puluhan Ekor Burung Dilindungi Diamankan Petugas Gabungan di Kuta Bali

Terkait kendala yang dihadapi BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan hal yang paling krusial adalah terbatasnya jumlah peralatan monitoring gempabumi nontektonik (karena erupsi gunung api, longsor laut, dsb), mengingat banyaknya gunung api dan potensi longsor di laut Indonesia yang dapat menimbulkan tsunami, seperti Tsunami Selat Sunda dan Palu 2018.

Kendala lainnya, menurut Dwikorita Karnawati adalah data monitoring gunung api laut/pada pulau kecil yang belum terintegrasi secara optimal ke dalam Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG. Pemantauan data tersebut dilakukan oleh lembaga yang terpisah, yaitu oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Terpisahnya lembaga ini, menurut Dwikorita Karnawati, berdampak fatal saat kejadian Tsunami Non Tektonik di Selat Sunda yang diakibatkan oleh erupsi gunung api yg memicu lingsor laut yang tidak dapat terpantau oleh BMKG. Sebagai lembaga penyedia peringatan dini, BMKG dapat merujuk pada contoh baik dari Japan Meteorological Agency (JMA) yang melakukan monitoring gempabumi, gunung api, dan cuaca di dalam satu lembaga.

Baca Juga: Tidak Mau Jalani Swab, 320 Kendaraan Diputarbalik di Exit Tol Cileunyi

"Kekhawatiran kami, tsunami akibat erupsi gunung api, sedangkan sistem peringatan dini tidak ada link dengan gunung api karena berada di bawah ESDM. Jadi kami tidak punya data sama sekali. Kurang lebih masih ada delapan gunung api yang berpotensi tsunami yang datanya sama sekali tidak dimiliki BMKG,” ujar Dwikorita Karnawati.

Selain itu, Dwikorita Karnawati mengatakan adanya gap dalam rantai peringatan dini di bagian hilir untuk masyarakat. Informasi Peringatan Dini yang sampai ke daerah melalui BPBD/Tim Siaga Bencana, ternyata tidak selalu diikuti respon yang memadai.

"Dalam hal ini perlu disiapkan rencana kontigensi dan SOP yang jelas oleh pemerintah daerah dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri dan BNPB yang merupakan focal point yang mengkoordinasikan penanggulangan bencana serta komponen kultur dalam Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami, sesuai dengan Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku,"pungkas Dwikorita Karnawati. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah