Sandiwara Tradisional, Hirup Teu Neut Paeh Teu Hos

- 13 Oktober 2020, 09:14 WIB
SALAH satu adegan sandiwara tradisional Indramayu Masres yang ditampilkan kelompok Galu Ajeng (Gawil Grup)asal Desa Celeng, Kec. Lohbener Indramayu, dengan cerita, “Karomah Banyu Sumur Tiris” yang disadur dari Babad Dermayu.***
SALAH satu adegan sandiwara tradisional Indramayu Masres yang ditampilkan kelompok Galu Ajeng (Gawil Grup)asal Desa Celeng, Kec. Lohbener Indramayu, dengan cerita, “Karomah Banyu Sumur Tiris” yang disadur dari Babad Dermayu.*** /Heriyanto Retno

PORTALBANDUNGTIMUR -

Sandiwara tradisional jaman kiwari mah ibarat papatah ‘hirup teu neut, paeh teu hos. Disebut hirup geus jarang manggung, disebut maot da masih aya hiji dua anu manggungkeun.”(Sandiwara Sunda jaman sekarang ini ibarat pepatah Sunda, hidup tidak matipun tidak. Disebut hidup sudah jarang manggung, disebut mati masih ada yang suka manggung). 

Demikian diungkapkan tokoh seni panggung sandiwara tradisional Sunda,  E. Samsudin yang akrab disapa Wa Kabul, terkait kondisi kekinian keseniang tradisional yang digelutinya sejak puluhan tahun, saat ditemui di Gedung Kesenian Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang Kosambi Bandung, Selasa 13 Oktober 2020.

Memang bukan cerita yang dikarang oleh Wa Kabul yang hingga kini bertahan di seni tradisi bersama sanggar Sandiwara Sunda Ringkang Gumiwangnya. Dari sekitar 64 grup sandiwara tradisional Sunda di Kota Bandung dan sekitarnya, kini tinggal grup Ringkang Gumiwang yang dipimpinnya dan Epita yang dipimpin Yayat.

Baca Juga: DPU Kota Bandung Normalisasi Sungai Cisaranten Lama

Meski sejak awal ketepurukan seni tradisional Sandiwara Sunda adalah pemerintah, Wa Kabul sepenuhnya tidak mau menyalahkan pemerintah dengan segala wewenang dan kebijakannya.

“Saat sandiwara sunda tengah jaya-jayanya di Tegallega dan Kosambi, oleh pemerintah diburak barik (dibubarkan) dengan alasan pembangunan dan lainnya, hingga para seniman ditahun 1970an hingga 1980an hanya diberi kesempatan manggung di YPK dan Rumentangsiang,” kenang Wa Kabul.

Di era TVRI akhir tahun 1970an hingga pertengahan 1980an yang menampilkan Srimulat dengan Ketopraknya, dari Jawa Barat juga diberikan kesempatan untuk tampil rutin dengan Sandiwara Sunda. “Karena banyak manggung di Jakarta banyak seniman yang hijrah ke Jakarta dan tidak lagi pulang, mereka lebih banyak bergabung dengan Miss Tjitjih dan hanya saya yang kembali pulang,” ujar Wa Kabul.

Baca Juga: PAI Bandung Rutin Selamatkan Species Anggrek Asli Jabar

Niat untuk kembali mengibarkan pamor Sandiwara Sunda bersama Yayat dengan grup Epita dan Wa Kabul Ringkang Gumiwangnya hingga kini terus dilakukan. Salah satu bukti, pertunjukan Sandiwara Sunda Masiytoh yang digelar selama sebulan penuh mampu menyedot 9 ribu lebih penonton.

Kondisi serupa bukan hanya dialami Wa Kabul di Kota Bandung, tapi juga didaerah lainnya. “Kami terus melakukan pendataan terhadap kelompok seni sandiwara tradisional yang nyaris dan akan punah disejumlah daerah, seperti Masres dari Cirebon dan Indramayu,” ujar Kepala Seksi Atraksi Seni Budaya UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat, Iwan Gunawan.

Dari hasil pendataan, sekitar 10 grup kesenian Masres yang masih ada pada tahun 2016, kini (2019) tinggal 6 grup yang masih mendominasi panggung teater. Meskipun usia mereka rata-rata sudah tua, namun masih mampu manggung dua kali dalam satu hari di wilayah Indramayu.

Baca Juga: Pendapatan Selangit Para Idol K-Pop Yang Merangkap Sebagai Youtuber

Masih bertahanya kesenian teater tradsional Masres hingga saat ini menurut Iwan dikarenakan masyarakat masih menris ggemarinya. Masyarakat bisa bertahan hingga semalam suntuk seperti menyaksikan pegelaran wayang kulit atau wayang golek bila menyaksikan pegelaran Masres dengan lakon mistik atau sejarah masa lalu yang dibumbui bodoran atau lawakan serta lagu-lagu khas Panturaan.

Seperti yang dipertunjukan kelompok sandiwara Masres Galu Ajeng (Gawil Grup)asal Desa Celeng, Kec. Lohbener Indramayu, beberapa waktu lalu, yang membawakan cerita, “Karomah Banyu Sumur Tiris”. Secara bahasa dan cerita yang disadur dari Babad Dermayu. Meski dialog disampaikan menggunakan bahasa Jawa Ora (Jawa Indramayu), namu karena alur cerita sangat sederhana membuat penonton mudah memahami, apalagi dengan disertai bodoran khas Panturaan.(heriyanto)***

Baca Juga: Memulai Usaha Di Rumahan Jadi Pilihan

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x