Seren Taun, Air Sumber Kehidupan

14 November 2020, 18:21 WIB
KAUM wanita membawa air dari tujuh mata air menggunakan buyung pada tradisi Ngabeungkat sebagai tradisi mengawali bercocok tanam padi. /Nana Munajat Dahlan/

PORTAL BANDUNG TIMUR – Merupakan dambaan masyarakat tani memiliki tanah yang subur dan hasil panennya melimpah. Karenanya air sebagai sumber kesuburan senantiasa dijaga.

Kesuburan tanah senantiasa akan tetap terjaga dan menghasilkan bila lahan pertanian terus dibasahi air. Karena air tanah pertanian akan tetap subur dan menghasilkan tanaman.

Sebagai ungkapan terimakasih pada air, dibeberapa daerah terdapat ritual air. Seperti di Kabupaten Kuningan terdapat upacara Nyiblung, di Kabupaten Subang dan Karawang terdapat upacara Ngabeungkat.

Baca Juga: Ditengah Pandemi Covid, Tahun 2021 Xiomi Berencana Rekrut 5000 Engineer

Tatkala air telah mengalir pada lahan pertanian, selanjutnya memulai kegiatan bercocok tanam yang dalam tradisi masyarakat tani disebut mitembeyan turun nyambut atau mengawali bercocok tanam. Kemudian diikuti tradisi ngalokat, berupa membersihkan air yang digunakan untuk kepentingan bercocok tanam.

Selanjutnya tradisi ngeusian Sri atau memasukkan butiran padi yang telah ditumbuk pada biji padi yang masih hijau. Setelah itu tradisi ampih pare atau memasukan padi ke dalam lumbung atau ke gudang tempat penyimpanan padi.

Rangkaian tradisi diakhiri hajat lembur atau ruwat lembur. Disejumlah daerah Jawa Barat yang masih memegang titi paranti tradisi lebih banyak menyebut wuku taun atau sérén taun.

Baca Juga: BIAS Cimahi di SDN Leuwigajah 2

Upacara Sérén Taun telah ada sejak masa kejayaan kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Pada masa itu, terdapat dua ritual besar, ritual seren taun Guru Bumi dan ritual Seren Taun Kuwerabakti.

Seren Taun Guru Bumi dilaksanakan satu tahun sekali yakni setelah Panen Raya dan Ritual Seren Taun Kuwerabakti dilaksanakan sewindu (delapan tahun) sekali.

Konon Seren Tahun Guru Bumi adalah puncak acara dari kegiatan upacara masyarakat Tani sedangkan Seren Taun Kuwerabakti sebuah upacara besar yang melibatkan raja dan ellit kerajaan beserta rakyat,sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan dalam tata kelola di bidang Pertanian.

Baca Juga: Hati-hati, Android Lawas Sebelum Nougat 7.1 Terancam

Terdapat beberapa keterangan bahwa esensi dari upacara seren taun Kuwerabakti merupakan kebesaran hati raja dalam hal ini memberikan sebahagian hasil pertanian pada rakyat nya. Upacara Sérén dibeberapa daerah yang masih kuat tali parantinya seperti di Kasepuhan Adat Ciptagelar, Sirnaresmi, Girijaya (Kabupaten Sukabumi), Sindangbarang, Jasinga (Kabupaten Bogor).

Dalam Bahasa Sunda sérén berarti serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun artinya tahun. Jadi sérén taun bermakna serah terima tahun yang lalu ketahun yang akan datang sebagai penggantinya.

Dalam konteks masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, sérén taun sebagai ungkapan rasa syukur  terhadap Tuhan Yang Maha Esa, permohonan keselamatan agar terhindar dari malapetaka, penghormatan terhadap leluhur dan Nyi Pohaci dewi padi yang telah memberikan kesuburan tanah, seraya berharap hasil pertanian mereka  akan meningkat pada tahun yang akan datang.

Baca Juga: DPU Kota Bandung Tidak Ada Target Tanam Pohon

Seren Taun Warisan Tradisi Leluhur

Upacara Sérén Taun merupakan tradisi bihari yang masih dilaksanakan oleh masyarakat dan berfungsi sebagai pengatur sikap dan sistem nilai, sistem kepercayaan ini sudah barang tentu tidak terdapat dalam ajaran agama yang mereka anut.

Sebagaimana dinyatakan oleh  Suhamiharja A. Suhardi bahwa “Walaupun orang Sunda sebagian besar menganut agama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari masih tampak unsur-unsur kepercayaan di luar Islam. Kehidupan beragama sering dipengaruhi oleh kepercayaan kepada kekuatan makhluk halus dan kekuatan magis.

Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup atau yang berhubungan dengan soal-soal mendirikan rumah, menempati rumah baru, menanam padi dan sebagainya, mengandung unsur-unsur yang bukan Islam.

Baca Juga: Positif Terjangkit Virus Corona, Mohamed Salah

Oleh karena itu sukarlah bagi kita  memisahkan agama dengan sistem kepercayaan, sebab baik agama maupun sistem kepercayaan yang masih dijalankan oleh sebagian orang Sunda berfungsi mengatur sikap dan sistem nilai, sehingga  mereka taat menjalankan agama, juga menjalankan upacara-upacara yang tidak dibenarkan oleh agama.

Dalam alam pikiran orang-orang Sunda terutama yang hidup di pedesaan,batas antara unsur agama dengan yang bukan agama sudah tidak disadari lagi. Unsur-unsur Islam dan unsur—unsur kepercayaan asli (adat-istiadat), tampaknya telah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaan dan ditanggapi oleh mereka dengan emosi yang sama. (  1984 : 282-283).

Orang Sunda sampai saat ini masih melaksanakan kegiatan-kegiatan ritual yang berhubungan dengan ’Upacara Kesuburan Tanah’ sebagai permohonan untuk mensejahterakan kehidupannya. Hal ini merupakan warisan budaya pahumaan yang dianut oleh leluhurnya.

Baca Juga: Analisa Hukum Mengenai Pencemaran Nama Baik

Seperti yang tercantum dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M), yaitu :  Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana sanra wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata landung tahun, tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya.Inya eta sanghyang sasana kreta di lamba ngarana.

Terjemahannya: Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang, bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup, selalu sehat, sumbernya terletak pada manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat, semak, hijau subur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam kehidupan namanya.

(Mas Nana Munajat Dahlan/Pemerhati Seni Budaya Tradisional Jawa Barat)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler