“Membuat kerajinan itu adalah hal biasa yang dilakukan di desa ini, tapi kehendak terus berinovasi dan membangun jejaring, bahkan menemukan filosofi rotan merupakan tantangan tersendiri,” ungkap Soim, Kades Leuwilaja.
Di masa kini, terutama ketika seni modern telah dianggap gagal dalam menuntaskan projek pencerahan (aufklarung), konsep mengenai objektivitas, nilai universalitas dan kemutlakan yang disakralkan seni modern telah dianggap pudar.
Cara berpikir kritis dan konsep postmodern, meski telah usang juga, nampak memberi pengaruh kuat dalam mendeskripsikan ulang praktik seni saat ini. Di satu sisi, perkembangan seni di masa kini nampak kian problematis karena segala aktifitas dalam kehidupan kini dapat disebut seni.
Baca Juga: Kasus Gorong-gorong Maut, Dilaporkan 3 Orang Tewas Ternyata Ada 5 Orang
Namun di sisi yang lain perkembangan ini merupakan peluang terbuka bagi kategori keterampilan atau keunikan terkait keahlian tertentu untuk menegaskan dirinya di medan seni saat ini.
Dalam paradigma seni modern yang cenderung memilah tegas mana yang dianggap ‘seni tinggi’ dan ‘seni rendah’, eksistensi hasil kreasi anyaman rotan niscaya ditempatkan hanya sebatas kerajinan yang fungsinya untuk memperindah suasana, mempertinggi harga diri, dan meningkatkan harga jual dalam konteks pelengkap hunian.
Namun dalam situasi kontemporer, peran dan makna kerajinan atau keterampilan (craftmanshipt) telah mengalami pergeseran yang signifikan sejalan dengan pudarnya batas-batas (territorial) seni dan bukan seni.
Dimana keterampilan dalam mengolah bentuk atau imaji terkait esensi material tertentu pada dasarnya mencerminkan pula upaya mengubah kenyataan alamiah ke arah pola dasar dunia manusiawi (paradigma hidup).
Baca Juga: Aduh, Pandemi Covid-19 Ciptakan 3.000 KK Miskin Baru di Kota Bandung