Nasib Seni Budaya Tradisional Jawa Barat Sulit Bergeming

- 14 November 2020, 11:30 WIB
KESENIAN Wayang kulit Indramayu saat dipentaskan UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jalan Baranang Siang Kosambi Bandung beberapa waktu lalu.
KESENIAN Wayang kulit Indramayu saat dipentaskan UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jalan Baranang Siang Kosambi Bandung beberapa waktu lalu. /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Masyarakat dunia menyebut pertempuran antara pasukan perang Jepang dengan Sekutu di laut Jawa pada 27 dan 28 Februari 1942 dengan sebutan “Battle of Java Sea”. Sebuah pertempuran dilautan terbesar kedua selama Perang Dunia ke II setelah Battle of Jutland (31 Mei-1 Juni 1916) di perairan Denmark dan Norwegia.

Namun dikalangan masyarakat Indramayu dan sekitarnya, pertempuran sepanjang sore hingga dinihari antara Pasukan Sekutu (AS, Inggris, Australia dan Belanda) melawan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dikenal dengan pertempuran Eretan.

Pertempuran antara pasukan Sekutu yang menghadang 10 kapal laut pengangkut Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang hendak melakukan invasi ke Jawa Barat dan Jawa Timur, menciptakan suara dentuman di tengah lautan dan juga asap membumbung ke langit.

Baca Juga: 5 Idol K-Pop Dengan Kekayaan Terbesar 2020

Dari sejumlah literatur sejarah diceritakan armada American British Dutch Australian Command (ABDACOM) dipimpin Laksamana Muda Karel Doorman mengerahkan tiga penjelajah ringan kapal HNMLS De Ruyter, HNMLS Java dan HMAS Perth.

Dua penjelajah berat USS Houston dan HMS Exeter, serta Sembilan kapal perusak, HMS Electra, HMS Encounter, HMS Jupiter, HNLMS Kortenaer, HNLMS Witte de With, USS Alden, USS John D. Edwards, USS John D. Ford, dan USS Paul Jones.

Sementara armada Laut Kekaisaran Jepang dipimpin Laksamana Muda Toshinori Shoji Nishimura karena dalam rangka menginvasi tanah Jawa mengerahkan 14 armada kapal perusak.

Baca Juga: Drama Pasca Pembagian Grup Euro 2020

Kapal yang dikerahkan, Yūdachi, Samidare, Murasame, Harusame, Minegumo, Asagumo, Yukikaze, Tokitsukaze, Amatsukaze, Hatsukaze, Yamakaze, Kawakaze, Sazanami, dan Ushio. Selain itu juga dikawal dua kapal penjelajah berat, Nachi dan Haguro serta dua penjelajah ringan, Naka dan Jintsū .

Mendapat perlawanan tidak berimbang pasukan ABDACOM pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman tidak mampu memberikan perlawanan. Bahkan sejarah mencatat lebih dari 2.300 pasukan sekutu yang tergabung dalam ABDACOM tewas, termasuk Laksamana Muda Karel Doorman yang berada diatas kapal Hr. Ms. De Ruyter.

Namun cerita yang berkembang dimasyarakat Indramayu bukan peristiwa heroik pertempuran Laut Jawa yang dimenangi pasukan Jepang. Pasca pertempuran dimana sehari setelah pertempuran dilautan Jawa, tepatnya pada 1 Maret 1942, ada 5000 orang pasukan Kekaisaran Jepang mendarat di Pantai Eretan Indramayu.

Baca Juga: Jangan Lengah, Wabah Corona Belum Berakhir

Dalam kondisi kelelahan dan kekurangan makanan mereka mengambil harta benda yang dimiliki oleh rakyat. Bukan hanya dengan cara memaksa, tetapi juga dengan disertai kekerasan, terutama oleh 3000 orang pasukan Jepang yang akan meneruskan perjalannan ke Subang untuk menduduki Lapangan Terbang di Kalijati.

Dalam ingatan sejumlah pelaku seni tradisional, peristiwa 77 tahun lalu tersebut masih sangat membekas. Dimana keberingasan tentara Jepang bukan hanya ke harta benda, tetapi juga titinggalan budaya tradisional berupa perangkat gamelan, wayang, topeng (kedok) hingga pakaian dimusnahkan.

Ada banyak budaya titinggalan yang dijaga dan sudah ratusan tahun di pelihara dirusak. Bahkan untuk sekedar bebarangan Nopeng (mengamen mennari topeng), pada masa pendudukan Jepang, dilarang.

Baca Juga: Gugus Tugas Covid-19 Kota Bandung Diperintahkan Bersikap Tegas

Sebagaimana yang dialami Dalang Topeng Lastra dari Slangit Indramayu (ayah Mimi Rasinah), Mama Taham Topeng Tambi (ayah Mimi Wangi Indriya) dan banyak lagi, mereka pernah merasakan kebringasan tentara Jepang.

Kenapa yang menjadi sasaran para dalang topeng? Ada banyak alasan pasukan Jepang sangat memusuhi para dalang topeng. Selain karena berlatarbelakang kesenian sarana penyebaran agama Islam, para dalang topeng juga dicurigai sebagai mata-mata Belanda atau tentara Republik Indonesia.

Nasib para dalang di Indramayu, bahkan di Subang, Cirebon hingga Majalengka dan Kuningan, semakin memburuk manakala Belanda dan Sekutu melakukan Agresi Militer Belanda II yang dikenal dengan nama Operatie Kraai pada Desember 1948.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Terus Naik, Bandung Kulon Masih Tetap Tertinggi

Pada masa itu, kelengkapan berkesenian para pelaku seni disita dan dihancurkan, bahkan tidak segan-segan tentara Belanda membunuh seniman dengan tuduhan sebagai mata-mata, sebagaimana yang dialami sejumlah dalang Topeng dan dalang Wayang, diantaranya dalang Topeng Lastra ayah Mimi Rasinah.

Nasib para dalang berserta seniman lainnya semakin lebih buruk manakala merebaknya organisai komunis PKI dengan mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950. Setiap pelaku seni budaya harus turut bergabung dalam Lekra dengan sanksi bila tidak bergabung akan diculik dan tidak diketahui rimbanya.

Hal ini tentunya menjadi simalakama bagi para pelaku seni budaya di daerah pada masa itu. Bila ikut jadi anggota akan berhadapan dengan pemerintah RI, bila tidak ikut akan berhadapan dengan gerombolan.

Baca Juga: Komunitas Sero Cibeureum, Jaga Sungai Cibeureum Sejak 2016

Mirisnya menurut Toto Amsar, kondisi dimusuhinya para pelaku seni budaya tradisional di daerah tidak hanya pada masa invasi tentara Jepang ke tanah Jawa, pada masa Agresi Militer Belanda II, serta pada masa Pemberontakan PKI.

 “Tapi kondisi dicurigai, dimusuhi hingga berbuntut seniman dan budayawan dijebloskan ke penjara terjadi pasca pemberontakan PKI, ratusan bahkan ribuan seniman budayawan dijembloskan ke penjara dengan tuduhan sebagai anggota Lekra pada masa Orde Lama hingga awal Orde Baru,” ujar Toto Amsar pada Dialog Budaya, “Setelah Jadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Akan Dibawa Kemana Seni Budaya Tradisional Jawa Barat”.

Padahal, sejak awal kehadiran ditanah Jawa khususnya pesisir pantai utara, para wali menjadikan seni budaya sebagai media dakwah menyebarkan agama Islam. Pada abad 15M sekitar tahun 1470, tari Topeng, Wayang Kulit, Wayang Cepak dan lainnya dijadikan Raden Syahid atau Sunan Kalijaga dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tontonan (hinburan) juga tuntunan (media syiar Islam).

Baca Juga: 2.628 Video Ikuti KOSN Pendidikan Dasar 2020

Awlananya berkembang di Cirebon sebagai pusatnya. Untuk kemudian dibawa dan disebar ke Majalengka, Kuningan, Indramayu dan Subang.

Alam kemerdekaan pasca penjajahan terus bergulir. Mulai dari Orde Lama, ke Orde Baru, Reformasi dan kini dimana generasi banga akan sebutan generasi milenial.

Namun nasib pelaku seni budaya tidak mengalami banyak perubahan. Hingga akhir hayatnya mereka masih harus berjibaku untuk menghidupi warisan adiluhung leluhurnya.

Baca Juga: Simulasi Protokol 3K Destinasi Pariwisata Nasional, Digelar Kemenparekraf

Pun kini, setelah pimpinan daerah silih berganti datang dan pergi. Pimpinan lembaga dan instansi yang mengayomi mengalami rotasi. Bahkan lembaga yang membidangi berganti nama. Tetap saja kondisi seni budaya, khususnya seni budaya tradisional dengan para pelakunya tidak bergeming. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah