#PRMN sahabat UMKM Sentuh Pengrajin Opak Tradisional Cibiru

- 5 November 2020, 18:36 WIB
MA Dede (57) pengrajin opak di Kampung Sukaluyu Kel. Pasiribiru Kec. Cibiru Kota Bandung, membuat opak masih dengan cara tradisional kini hanya memenuhi pesanan, melalui program #PRMN sahabat UMKM diharapkan pemasaran turut terbantu.
MA Dede (57) pengrajin opak di Kampung Sukaluyu Kel. Pasiribiru Kec. Cibiru Kota Bandung, membuat opak masih dengan cara tradisional kini hanya memenuhi pesanan, melalui program #PRMN sahabat UMKM diharapkan pemasaran turut terbantu. /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Suara pasir diaduk dalam galungan atau wajan dari gerabah seperti suara air dikucurkan. Nyaris tidak pernah berhenti sepanjang hari dari pagi hingga adzan dzuhur berkumandang.

Kegiatan ‘ngopak’ atau membuat opak penganan tradisional dari bahan beras ketan yang dilakukan secara tradisional kini sudah banyak ditinggalkan. Bahkan di Kamp. Sukaluyu, Kel. Pasirbiru Kec. Cibiru Kota Bandung, ngopak atau membuat opak yang sebelumnya menjadi tradisi masyarakat menjelang hari-hari besar keagamaan (Islam), kini dapat dihitung jari.

“Kalau dulu hingga tahun 80an hampir semua warga disini ngopak (membuat opak). Membuat opak menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat Pasirbiru dan sekitarnya, tapi kini banyak kaum wanita yang lebih senang kerja di pabrik atau pelayan toko, jadi tidak sempat membuat opak untuk Lebaran,” ujar Ma (ibu) Dede (57) ditemui Portal Bandung Timur dibelakang rumahnya di RT 04 RW 12 Kamp. Sukaluyu, Kel. Pasirbiru Kec. Cibiru Kota Bandung, terkait program #PRMN sahabat UMKM.

Baca Juga: Innovative Government Award (IGA) Digelar Kemendagri

Sebelum pemekaran menjadi Kota Bandung, menurut Ma Dede, di daerah Cibiru yang berbatasan dengan Cileunyi dan Cilengkrang berbagai tradisi membuat penganan tradisional banyak dilakukan. Makanan dari bahan beras ketan seperti opak, ranginang dan ulen serta berbahan tepung beras maupun singkong menjadi tradisi dan kebiasaan kaum wanita.

Penganan tradisional opak dan ranginang menjadi makanan yang wajib disajikan setiap hari-hari keagamaan Islam, seperti muludan, baharu Islam atau muharaman (tahun baru Islam), lebaran dan lainnya. “Masyarakat disini merasa tidak merayakan muludan dan baharu Islam, apalagi lebaran bila tidak ada opak atau ranginang,” ujar Ma Dede.

Untuk membuat penganan tradisional opak dan ranginang, sudah sejak menjelang masuknya bulan puasa warga mengumpulkan kayu bakar dan membuat tungku khusus di belakang rumah dekat kandang kambing atau ayam. Selain itu mencari tahu dimana mendapatkan galungan atau wajan (penggorengan gerabah) dan pasir untuk menggoreng.

Baca Juga: Persatuan Pelajar Indonesia dan KBRI Turki Meresmikan Endonezya Evi

Memasuki awal puasa, kaum wanita mulai mencari-cari beras ketan kualitas bagus untuk bahan utama opak dan ranginang. “Dulu sangat gampang mencari beras ketan asli hanya tinggal mencari dari petani siapa beras ketan kualitas bagus untuk bahan, sekarang selain harganya sangat mahal juga sudah sangat sulit karena beras ketan sekarang sudah tidak asli banyak dicampur beras biasa,” terang Ma Entin (65) tetangga Ma Dede menimpali.

Silaturahmi yang dilakukan warga tidak hanya saat mencari tahu tentang bahan-bahan untuk membuat penganan opak dan ranginang. Saat mengolah bahan, menjemur opak dan ranginang, serta saat menggoreng dibelakang rumah semuanya tidak terlepas dari kegiatan silaturahmi dan saling berbagi pengetahuan untuk menghasilkan olahan makanan enak dan tahan lama.

Silaturahmi yang terjadi akan mencapai puncaknya saat lebaran tiba dimana setiap warga saling kunjung mengunjungi dan mencoba opak atau ranginang buatan masing-masing disertai cerita kekurangan dan kelebihan saat membuatnya.

Baca Juga: Indonesia-Kolombia Perkuat Kerja Sama di Tengah Pandemi dan Tantangan Global

“Disini kita sangat merasakan karena opak dan ranginang saja kekeluargaan begitu sangat kental, anak-anak sekarang sudah tidak merasakan itu lagi, karena opak dan ranginang sudah tidak lagi mereka buat dirumahnya tapi cukum membeli,” ujar Ma Entin.

Untuk mendapatkan opak atau ranginang generasi sekarang tinggal membeli ke pengrajin yang masih tersisa di Kamp. Sukaluyu, Kel. Pasirbiru Kec. Cibiru Kota Bandung dan dan Kamp. Dandaria, Ds. Cileunyi Wetan Kec. Cileunyi Kab. Bandung.

Setidaknya masih ada Ibu Aah, Ibu Daria dan Ibu Cucu yang masih menjaga tradisi membuat opak dan ranginang yang menjualnya Rp 50.000 untuk setiap 100 biji opak atau ranginang.

Baca Juga: 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Thailand

Hanya saja, kini tradisi silaturahmi dan ‘ngopak’ sudah mulai memudar. Padahal menjelang lebaran permintaan akan opak dan ranginang terus meningkat hingga pengrajin kewalahan untuk membuat opak dan ranginang yang membutuhkan bahan hingga 20 kilogram beras ketan setiap harinya. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah