KemenPPPA Berharap UU Perlindungan Anak Ditegakan Agar Ada Efek Jera Pada Pelaku TPKS

12 Mei 2023, 21:30 WIB
Ilustrasi tindak pidana kekerasan pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengecam tindakan rudapaksa yang dilakukan seorang ayah kepada anak di Sidoarjo Jawa Timur. /Foto : Pixabay/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras terjadinya tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) seorang ayah kandung terhadap anak perempuannya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Penerapan hukuman secara tegas terhadap pelaku TPKS diharapkan dapat mencegah dan menurunkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar terkait kasus TPKS yang menimpa seorang anak perempuan di  Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang telah berlangsung selama 4 tahun sejak 2019. “Kami sangat menyayangkan terjadinya TPKS berupa persetubuhan terhadap korban anak perempuan yang masih berusia 14 tahun oleh terduga pelaku yang merupakan ayah kandung korban itu sendiri,” ujar Nahar dalam keterangan persnya.

Terlebih menurut Nahar,  tindakan asusila yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya tersebut telah berlangsung selama 4 tahun. Selain itu juga ditemukan adanya indikasi pengancaman yang dilakukan oleh terduga pelaku terhadap korban untuk tidak memberitahukan hal yang menimpa korban kepada orang lain.

Baca Juga: KemenPPPA Ingatkan Pemprov NTT Akan UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak

Kasus TPKS oleh ayah kandung kepada putrinya terungkap saat korban berhasil melarikan diri dan bertemu dengan perangkat desa pada 11 Februari 2023 silam. Korban mengakui telah dipaksa melayani keinginan aksi bejat ayahnya yang dilakukan pertama kali pada 2019 dimana korban disetubuhi ketika sedang tertidur dan terduga pelaku mengancam korban untuk merahasiakan apa yang dialaminya.

Setelah adanya laporan perangkat desa ke UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo. Setelah mendapatkan laporan tim dari UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo segera melakukan pendampingan secara hukum dan asesmen psikologis terhadap korban.

Terduga pelaku berhasil ditangkap dan ditahan di Polresta Sidoarjo. Saat ini, korban telah ditempatkan terpisah karena korban hanya tinggal berdua dengan terduga pelaku di rumah kost.

“UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo telah bergerak cepat dan mendampingi korban selama proses asesmen psikologis berlangsung. Dari hasil asesmen tersebut, korban tampak tidak menunjukkan trauma akibat peristiwa yang menimpanya. Meskipun demikian, kami akan terus melakukan segala bentuk pendampingan yang sekiranya dibutuhkan oleh korban dan diperlukan asesmen lebih lanjut untuk mengetahui kondisi korban serta meminimalisasi munculnya dampak psikologis jangka menengah dan panjang, seperti munculnya rasa cemas, depresi, pemikiran negatif, ataupun perasaan rendah diri,” ujar Nahar.

Baca Juga: Rudapaksa Anak Remaja Usia 15 Tahun oleh 10 Pria di Tapanuli Utara Ditangani Serius KemenPPPA

Ditegaskan Nahar terjadinya kasus TPKS yang dilakukan oleh keluarga terdekat korban menjadi perhatian serius KemenPPPA. “Seharusnya keluarga menjadi tempat aman dan berperan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak, bukan malah sebaliknya,” ujar Nahar.

KemenPPPA melalui Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 menurut Nahar telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sidoarjo. Hal tersebut dilakukan terkait proses pendampingan psikologis dan hukum bagi korban.

Lebih lanjut, Nahar menjelaskan bahwa terjadinya peristiwa dikarenakan adanya berbagai macam faktor penyebab terduga pelaku melakukan tindak kekerasan seksual kepada korban yang merupakan anak kandungnya. Selain adanya ketimpangan relasi kuasa antara terduga pelaku dan korban, adapun sumber stressor berasal dari kematian istri terduga pelaku yang membuatnya kehilangan figur untuk menyalurkan kebutuhannya secara seksual.

Korban pun kehilangan figur ibu yang kerap memberikan perlindungan bagi korban. Tidak hanya itu, kondisi tempat tinggal korban yang hanya tinggal berdua dengan terduga pelaku di sebuah kamar kost pun menjadi faktor pemicu tambahan yang berasal dari keterbatasan ruang privasi antara anak remaja dengan orang tuanya.

“Karena faktor-faktor itulah, maka saat ini korban ditempatkan di lokasi terpisah dengan pelaku, mengingat juga keluarga terdekat korban nampak keberatan untuk mengasuh korban. Hal tersebut sangat disayangkan karena keluarga berperan utama dalam perlindungan anak. Namun, penempatan korban di tempat khusus dan terpisah ini diharapkan dapat membantu pemulihan kondisi korban karena lingkungan yang suportif dapat menjadi salah satu faktor pendukung untuk mempersiapkan kondisi anak korban kembali berfungsi secara optimal di lingkungan sosialnya,” papar Nahar.

Terhadap perbuatan tersangka, Nahar menegaskan dapat dijerat dengan Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 81 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan ditambah 1/3 (sepertiga) atau menjadi 20 (dua puluh) tahun.

“Kami sangat berharap penegakan hukum secara tegas terhadap kasus TPKS  agar dapat mencegah dan menurunkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Kami juga mengingatkan dan mengajak semua masyarakat yang mengalami, mendengar, ataupun melihat terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk berani dan segera melapor kepada pihak yang berwajib atau melalui layanan pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129,” pungkas Nahar.***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler