Pertahankan, Pasal Penyerangan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden

- 10 Juni 2021, 09:42 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta. /Foto : Eot/Man

PORTAL BANDUNG TIMUR - Pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) layak dipertahankan.  Perlu melakukan benchmarking atau tolok ukur, tentang hukum yang terkait penyerangan pemegang kekuasaan, khusunya kepala negara di negara-negara lain.

Disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta. Bahwa, pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) layak dipertahankan.

Alasan Arsul Sani, dipertahankannya pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden karena di banyak negara yang tradisi demokrasinya sudah lama pun tetap menerapkan kriminalisasi bagi penghina atau penyerangan kepada kepala negara yang menjabat. Tapi,  pasal ini diformulasikan supaya tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Nadiem Makarim, PTM Bukan Sekolah Tatap Muka Biasa

"Artinya adalah wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan benchmarking, pasal terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden, atau penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden itu dipertahankan. Tantangan kita adalah bagaimana ini tidak menabrak putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Arsul Sani.

Diungkapkan Arsul Sani, di periode lalu, sebagai upaya tidak menabrak putusan MK, ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama sifat deliknya diubah, dari delik biasa ke delik aduan. Kedua, diberi pengecualian pada ayat berikutnya, yang bukan merupakan penyerangan itu apa, dalam rangka terhadap kritik kebijakan atau pembelaan diri. Dan ketiga, supaya menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum, maka pidananya harus diturunkan, harus di bawah lima tahun.

"Itu pun kita masih dalam rangka merespon terhadap kekhawatiran masyarakat, seperti yang disampaikan Pak Habiburokhman perlu ada penjelasan lagi terhadap pasal 218 dan 219 KUHP. Jadi hemat saya pasal ini tetap perlu dipertahankan, tetapi dengan formulasi yang baik yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin," jelas Arsul Sani.

Baca Juga: Sejuta Dosis Vaksin per Hari Pada Juli Mendatang

Dipaparkan Arsul Sani, agar tidak hanya melihat sisi pandang internal, tapi juga perlu melakukan benchmarking atau tolok ukur. Tentang hukum yang terkait penyerangan pemegang kekuasaan, khusunya kepala negara di negara-negara lain.

"Saya melihat bagitu banyak negara-negara demokrasi seperti kita, bahkan yang tradisi demokrasinya lebih lama dari kita, tetap mempertahankan less majesty, ketentuan-ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap harkat dan matabat pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara. Contoh kita bisa baca di pasal 115 KUHP-nya Denmark, di sana juga ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun. Pasal 101 KUHP Islandia, itu juga ancamanya 4 tahun,"  papar Arsul Sani. (heriyanyo)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah