Permainan Tradisi di ‘Ngarumat Tradisi Huma’ yang Masih Terjaga

- 5 Desember 2020, 07:43 WIB
TRADISI ‘Ngaseuk Hatong”  harmonisasi manusia dengan alam masyarakat Cipatujah Tasikmalaya.
TRADISI ‘Ngaseuk Hatong” harmonisasi manusia dengan alam masyarakat Cipatujah Tasikmalaya. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Diantara lampu temaram berwana biru dan sesekali berganti kuning, seorang pria paruh baya berjalan perlahan. Setengah diseret, sandal karet yang dikenakannya diatas panggung berlantaikan kayu (parket) mengeluarkan suara hingga bersahutan dengan suara calung renteng dan jentreng (kecapi) yang dimainkan perlahan.

Suasana diatas panggung yang diciptakan sangat syahdu tiba-tiba ditimpali suara obrolan anak-anak dari sejumlah pojok gedung yang gelap gulita. Ratusan pasang mata penonton di gedung Teater Tertutup Taman Budaya, mencari asal suara. Satu dengan lainnya saling membalikan tubuh untuk mencari asal suara.

Tidak berselang lama suara gaduh bercengkrama anak-anak menggunakan bahsa Sunda dengan dialek khas masyarakat pesisir bersahutan dengan suara berbagai alat musik. Semula pukulan dogdog yang dimainkan seperti tidak beraturan, demikian pula dengan angklung buncis dan alat ngaseuk (alat bantu menanam dihuma), namun lambat laun membentuk irama yang mengiringi para penari yang dari sudut gedung pertunjukan menuju panggung.

Baca Juga: Rumah Budaya Rosid Alternatif Wisata Bernuansa Etnik

Awalan pagelaran Aneka Ragam Seni Sunda yang menampilkan kesenian ‘Aseuk Hatong’ dari Saung Budaya TatarKarang, Kampung Nusa Bentang, Desa Sindangkerta, kec. Cipatujah Kab. Tasikmalaya, memaksa penonton untuk langsung memberikan apresiasi dengan tepuk tangan riuh. Bukan hanya karena konsep pertunjukan yang lain dari biasanya, tapi sumber bunyi yang dimainkan masih asing bagi penonton. Belum lagi bahasa Sunda yang dipergunakan dengan logat khasnya cukup mengundang tawa.

Pagelaran Aneka Ragam Seni Sunda ‘Aseuk Hatong’ dengan tajuk ‘Ngarumat Tradisi Huma’ merupakan gambaran masyarakat agraris di pesisir pantai selatan Jawa Barat. Tradisi bercocok tanam di huma ataukebun-kebun yang terletak di kawasan perbukitan dengan kontur tanah kering saat memasuki musim kemarau atau mangsa bumi tiis diawali dengan tradisi babad alas atau nyacar (membersihkan bakal kebun).

Pada bagian babad alas atau nyacar ini sekelompok anak menampilkan kebiasaan menggesekan daun buah salak ke sebilah golok. Dari getah daun buah salah dan bagian daun yang dikucupkan, gesekan golok batang daun menciptakan suara babi hutan dan gonggongan anjing.

Baca Juga: Saung Teduh Lukis Tembok Jalan Bapa Ampi

Belum usai keunikan tradisi ulin momoroan, penonton disuguhi tradisi ngaseuk aseuk hatong berupa memainkan alat aseuk (alat bantu melubangi tanah untuk bibit). Diselingi tembang, sempal guyon (saling ledek) suara alat aseuk yang dimainkan menciptakan harmonisasi musik yang sangat langka dan belum pernah disaksikan oleh para penonton yang sebagian besar lahir di perkotaan.

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x