Jaipongan Jawaban Gugum Tira Sondjaja untuk Amanat Tahun Vivere Pericoloso

11 Oktober 2020, 07:34 WIB
PEGELARAN Jaladri Tingtri yang diinisiasi UPTD Pengelolaan Kebudayaan daerah Jawa Barat, 20 September 2020 lalu.** /Heriyanto Retno

PORTAL BANDUNG TIMUR - Menyaksikan pagelaran karya-karya almarhum Dr. Gugum Gumbira Tirasondjaja (1954-2020) dalam bentuk rangkaian karya tari dan tembang terpilih bertajuk “Jaladri Tingtrim”, 20 September 2020 lalu, penulis kembali teringat pada masa 4 tahun kebelakang.

Dimana almarhum berkeinginan untuk meluruskan makna dan arti dari gengre tari Jaipongan yang diciptakannya bersama sejumlah seniman lain.

Diungkapkannya, hanya mereka yang memiliki rasa estetik paham nilai Jaipongan. Ungkapannya tersebut bukan tanpa alasan.

Baca Juga: Masih Banyak Warga Melanggar Tidak Kenakan Masker

Pada tahun 2016, tarian Jaipongan kembali ramai menjadi bahan perbincangan. Selain banyaknya gengre tarian yang diaku sebagai tari jaipongan, juga adanya upaya klaim dari pemerintah Kabupaten Karawang untuk mendaftarkan Tari Jaipongan sebagai tari khas Karawang karya maestro kendang Suwanda.

Ditemani Mira Tejaningrum puteri pertamannya, Herry Wijaya asistenya serta dua koreografer tari muda Gondo Gandamanah dan Jenny di halaman belakang rumahnya di Jalan Kopo nomor 15 RT 01 RW 01 Kelurahan Panjunan Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung.

Semula pembicaraan berkaitan dengan pelaksanaan Pasanggiri Sanglingan Jaipongan Jugala Raya 2016, “Menjaga Melestarikan Dengan Hati” yang akan digelar pertengahan Desember di Gedung Asia Afrika Culture Center (Majestic) Jalan Braga Bandung.

Namun setelah itu pembicaraan berkembang pada permasalahan nilai-nilai moral yang terkandung dalam tari Jaipongan, layaknya nilai-nilai seni yang berakar dari tradisi masyarakat di tanah Sunda.

Baca Juga: Antisipasi Penyebaran Covid-19 Fasilitas Publik Dibersihkan

Sebenarnya, kegusaran Sang Maestro Tari Jawa Barat akan kandungan nilai-nilai moral dari tarian yang diciptakannya untuk pertamakali tahun 1978, bukan kali ini.

Pernah pula diungkapkan pada medio awal bulan April 2016, saat pemerintah Kabupaten Karawang akan mendaftarkan Tari Jaipongan sebagai tarian khas atau asli Kabupaten Karawang.

Juga pernah diungkapkan pada penulis diakhir bulan Januari 2013 saat akan digelar orientasi kegiatan Pasanggiri Jaipongan Jugala Raya 2013, bertajuk, "Ajang Adu Nilai Jaipongan Jadul dan Kekinian".

Baca Juga: Labuan Bajo Rebound, Pemulihan Destinasi Super Prioritas

Bahkan pembicaraan Jaipongan lebih ramai lagi terjadi saat salah seorang menteri mengungkapkan bahwa tari Jaipongan terlahir dari tempat maksiat medio awal tahun 2009.

Hingga pembahasan tentang istilah 3G (goyang, geol, dan gitek) berbau erotisme, memaksa jajaran pimpinan di pemerintahan Jawa Barat bertemu langsung dengan sejumlah tokoh Jawa Barat, serta tokoh seniman dan budayawan.

Saat itu Sang Maestro hanya mengungkapkan, stigma aneh-aneh tentang Jaipongan sudah sejak awal tarian tersebut saya perkenalkan tahun 1980an ke masyarakat.

Baca Juga: Ratusan Anak SMK Diamankan Petugas Kepolisian

Mereka memiliki pandangan seperti itu karena tidak tahu akan nilai-nilai yang terkandung dan hendak disampaikan melalui gerakan, tapi waktu itu saya tidak mau banyak berdebat, karena yang terpenting adalah membuat karya dan mengangkat citra seni tradisi agar masyarakat menyukainya.

Kalau harus menjawab satu persatu mereka yang mengkritisi tari Jaipongan karyanya, almarhum  mengaku sudah sangat bosan dan cape.  

Dirinya hanya menjawab bahwa apa yang dilakukannya sebagai seniman Jawa Barat karena merasa tertantang dengan ucapan Presiden Sukarno yang merasakan kegusarannya akan kesenangan pemuda mada masa itu pada dansa-dansi dan mulai meninggalkan budaya leluhur.

Baca Juga: Tangani Banjir Pasar Induk Gede Bage, DPU Bangun Kolam Retensi

Kala itu, pidato kenegaraan Presiden RI pertama Ir Sukarno pada 17 Agustus 1964, yang terkenal dengan judul “Tahun Vivere Pericoloso” atau disingkat Tavip begitu terngiang dalam diri almarhum yang kala itu masih duduk dibangun sekolah SLTA Pasundan 1 Bandung (1962-1955).

Kala itu Sang Proklamator menginstruksikan seluruh rakyat untuk melaksanakan Tri Sakti Tavip. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.

Dalam hal bidang kebudayaan, Sukarno secara tegas menentang keras anak-anak muda menggilai musik pop barat yang disebutnya “musik ngak ngik ngok”, literatur picisan, dan dansa-dansi dalam pesta pora dikalangan anak muda. Karena, menurut Sukarno melalui penetrasi kebudayaan kaum imperialis ingin merusak moral bangsa Indonesia.

Baca Juga: Menjaga Asa Pewaris Goong Renteng Ki Muntili

Disini, Sang Maestro melalui karya tarinya ingin menunjukan nilai-nilai luhur kebangsaan dan kebanggaan akan warisan leluhur sebagaimana yang diteriakan Bung Karno. Lahirlah karya pertamanya “Keser Bojong” (1978).

“Pada masa itu belum dikatakan Jaipongan, masih disebut Ketuk Tilu Perkembangan karena lebih banyak mengambil dasar dari kesenian Ketuk Tilu, kemudian diberi nama Bojongan karena rumah di Bojongloa, tapi tidak jadi digunankan hingga akhirnya dinamai Jaipongan,” terang Apih Gugum.

Tarian Jaipongan lahir tidak begitu saja dari seorang Gugum Gumbira. Sebagai putera pertama yang lahir di Bandung tanggal 4 April 1945, dari pasangan H. Suhari Miharta dan ibu Hj. Oyoh, Apih Gugum  sudah dari kecil bergelut dengan dunia kesenian, terutama pencak silat, karena ayahnya sendiri adalah guru pencak silat, ditambah dengan kesenangan berpetualang, mengisi pengalaman batin mencari sesuatu yang baru.

Baca Juga: Mesat Gobang Kabuyutan Menjaga Energi Berkesenian

Diceritakannya, saat dirinya berupaya memuaskan rasa dahaganya akan berbagai jurus dan aliran pencak silat seperti Cimande dan Cikalong dengan aliran Kari, Madi serta Sabandarnya Apih Gugum mendapat gemblengan langsung dari tokohnya yang diantaranya masih diingatnya adalah Bapak Saleh, Ki Bacih, dan Ki Sanhudi.

Demikian pula dengan kesenian tradisi lainnya seperti seni Topeng Banjet didapatnya dari Epeng, Ali Saban, dan Bah Pendul, tari Topeng Cirebon langsung dari maestronya Sudjana Ardja dan Suji. Sedangkan seni Ketuk Tilu dipelajarinya dari Ki Sanhudi, Ibu Jubaedah, dan Bapak Akil, juga tari Keurseus dipelajarinya dari Sari Redman.

Dalam memperkaya bathin berkesenian, Apih Gugum juga mempelajari topeng Banjet, Kliningan dan Bajidoran langsung ke kantong-kantong dimana kesenian tersebut masih melekat dimasyarakatnya.

Baca Juga: Keindahan Pantai dan Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Sindangkerta

Dalam perjalanannya mempelajari kesenian tradisional pakaleran (pantai utara Jawa Barat), di Kabupaten Subang dirinya berkenalan dengan Lurah Joni, Lurah Hilman, Upas Omo, dan lain-lain.

Sementara di Kabupaten Karawang, akrab dengan Mang Atut, Mang Askin, Dimyati dan lainnya, hingga pada akhirnya dipertemukan dengan para tokoh seni Idjah Hadidjah dan Umay Mutiara (pesinden), juga Haji Suwanda dan Dali (pengendang).

Hingga sejak dirinya berkelana sejak awal tahun 1970 hingga sekarang telah lahir besalasan karya tarian, Keser Bojong, Rendeng Bojong, Toka-Toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Manggut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, Kawung Anten, Jalak Ngejat, dan lainnya.

Baca Juga: Cara Memilih Jas Hujan Yang Baik

Bukan hanya tarian, Apih Gugum juga turut mewarnai seni tembang lewat tembang wanda jaipongan, seperti tembang “Daun Pulus” dan “Serat Salira” yang sangat fenomenal seperti halnya tari Jaipongan.

Terhadap cap buruk tentang tari Jaipongan, saat (alm) Tien Soeharto (Raden Ayu Siti Hartinah) berulang tahun ke 65, meminta langsung Apih Gugum untuk menjelaskan  tentang makna yang terkadung dalam tarian Jaipongan.

“Ketika Ibu Ratu (Tien Soeharto istri Presiden Soeharto) berulang tahun di Sasana Langgeng Budoyo (Taman Mini Indonesia Indah) pada tahun 1989 dan dilanjut menyambut Sultan Brunei Darussalam di Istana Negara, meminta penjelasan kepada saya tentang nilai dan makna yang ada pada tari (Jaipong) Rawayan.

Baca Juga: Permasalahan Pada Layar Ponsel Serta Bagaimana Pemeliharaanya

Bu Ratu sangat tertarik dan meminta saya untuk menjelaskannya kepada masyarakat luas agar masyarakat menyukai tari Jaipong dan meluruskan kesan ataupun pandangan negatif serta cintra penarinya,” kenang Apih Gugum.

Saran sekaligus permintaan dari (Alm) Tien Soeharto tersebut tidak diindahkan Gugum Gumbira, demikian pula dengan permintaan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono saat menyerahkan Anugerah Satyalancana Kebudayaan (Desember 2004) dan terulang Gugum Gumbira menerima penghargaan serupa pada tahun 2009.

Dipamungkas obrolan Sang Maestro berucap, stigma jelek terhadap tari Jaipong selalu datang dari kalangan pemerintah bukan masyarakat, hanya waktu yang akan menjawab.

Baca Juga: Pelem Festival in The Pandemic Time, Harapan Kehidupan Lebih Baik

Karena mereka, hanya mereka, yang benar-benar memiliki pemahaman akan seni dan memiliki rasa estetik serta tahu nilai yang terkandung didalam setiap gerakan tari Jaipongan. Dan stigma buruk Jaipongan pasti akan luluh dengan sendirinya ditelan jaman. Semoga! (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler