corRUPTure ; Fragmen, Teks, dan Asemblase

1 November 2020, 18:31 WIB
PAMERAN seni rupa ‘corRUPTure ; Fragmen, Teks, dan Asemblase’ di Thee Huis Galery Taman Budaya Jawa Barat memamerkan karya Arti Sugiarti dan Deborah P. G. Ram Mozes, sebagai serangkaian momen dan sekumpulan peristiwa temporer.*** /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR.-

Yang tersaji dalam pameran ini, baik yang lahir melalui Arti Sugiarti atau yang menemukan jalan pengejawantahannya melalui Deborah P. G. Ram Mozes adalah kesenian yang melampaui upaya mereplikasi atau merekonstruksi kenyataan. Yang hadir adalah bagian dari sebuah proses konstruksi, serangkaian tindakan membangun yang berkelanjutan.

Karena itu, yang dipamerkan tidak dengan mudah dikatakan sebagai karya karena tidak dengan mudah dapat dikatakan bahwa yang ada di sini adalah sebuah hasil akhir, sesuatu yang selesai dan rampung.

Paling-paling sapuan warna, guratan garis, atau irisan pisau pada kanvas, kertas, atau tembikar ini bisa dikatakan sebagai serangkaian momen, sekumpulan peristiwa temporer, potongan-potongan dan serpihan-serpihan yang untuk sementara ini sedang menemukan tempat hunian. Tidak ada rencana yang ditakdirkan pasti. Hanya ada saat-saat perjumpaan.

Baca Juga: Whatsapp ternyata bisa di akses lewat PC atau Laptop.

Boleh lah kita sebut masing-masing citra ini ‘kepingan’ bukan karya karena, sebagaimana yang diisyaratkan Rolang Barthes, ‘karya’ itu berasumsi bahwa masingmasing yang ada ini sudah mencapai titik akhirnya, dan yang satu terpisah dari yang lain, otonom sebagai individu yang tuntas.

Mungkin kita dapat menyebutnya teks, yang seperti kain tekstil atau tekstur pada permukaan kulit, yang tepi-tepinya menunjukkan keterkaitannya dengan teks lain dalam konteksnya, dalam semestanya.

Pada tepian itu akan tampak semburat serat-serat yang mengurai dari sini ke sebuah wilayah dalam ingatan dan impian, yang pernah ada dan yang mungkin ada, yang disadari dan yang menghantui.

Baca Juga: Residu, Keterpaksaan Jadi Kaum Urban

Yang tersaji dalam pameran ini telah melangkah melampaui definisi karya karena tidak lagi terperangkap dalam batasbatas kanvas atau kertas, atau bahkan bingkai dan ruang pameran.

Barthes berkata bahwa karya memang ditujukan untuk dipajang dan dikagumi sedangkan teks merupakan sebuah pengakuan atas keterkaitan dan kelindan dengan semesta yang senantiasa menembus sekat-sekat, seperti zat organik yang merembas melalui osmosis. Mereka bukan individu karena mereka dapat dicacah.

Namun, yang tersaji dalam pameran ini pun tidak berpretensi dapat menguasai keutuhan dan keseluruhan. Kepingan-kepingan ini hadir tidak dengan keangkuhan demagogis melainkan kerendahan hati mengakui ketidakutuhannya, keberkepingannya.

Baca Juga: Bandung Arts Festival #6, Tetap Digelar

Kepingan-kepingan yang dihaturkan Arti Sugiarti tidak berusaha menyajikan warna-warna yang melebur satu sama lain seakan hendak menyembunyikan proses kejadiannya.

Setiap sapuan warnanya jelas kehadirannya dan jelas betapa warna yang satu bersanding dengan warna yang lain, betapa bentuk yang satu dan bentuk yang lain berbenturan dan berhimpitan menempati ruang yang sama dan sempit—bersama dan sekaligus bersaing.

Demikian pula, garis-garis tinta dan grafit yang dihasilkan Deborah Ram Mozes. Mereka tidak berpura-pura menjadi kesatuan abu-abu. Jika diperhatikan dari dekat, setiap garis yang ditarik jelas hitam dan kelabunya terpisah dari hitam dan kelabu garis yang lain. Citra-citra ini memberi kesaksian bahwa keselarasan yang dimpikan manusia itu ilusi utopis.

Baca Juga: Bangbarongan Munding Dongkol, Mitologi Air Kota Cimahi

Gilles Deleuze dan Felix Guattari berkata dalam Capitalisme et Schizophrénie: L’Anti Œdipe bahwa semuanya itu mesin, bukan dalam makna kiasan melainkan sebagai kenyataan, mesin yang menjalankan mesin lain, mesin dalam mesin lain, mesin dengan segala rangkaian sambungannya. Selalu ada arus dan putus.

Hal-hal yang kita pandang sebagai keseluruhan itu terdiri atas unsur yang mengalir dan ada unsur yang menghentikan dan menghambat aliran itu.

Hal-hal yang kita pandang sebagai kelancaran fungsional merupakan perbenturan yang merusak. Setiap kali ada kontinuitas hadir pula interupsi dan disrupsi. Gerigi pada mesin saling bertabrakan agar keseluruhan mesin dapat berjalan.

Baca Juga: Legenda Three Lions, Nobby Stiles Meninggal Dunia

Dengan demikian, ketika mesin mulai berfungsi, pada saat yang sama mesin itu mulai tidak berfungsi. Destruksi mulai terjadi pada momen yang sama konstruksi diawali. Itulah teks: jalinan yang hanya tercipta karena karena serat-seratnya saling bersilang.

Tidak ada jalinan yang terbangun dari kesejajaran dan kesearahan. Kita merakit kehidupan dari serakan letupan, pecahan, rupture.

Chora, tubuh perempuan yang terpilah, dan momen genting Seni Arti Sugiarti dan Deborah Ram Mozes adalah tindakan mengumpulkan kepingan dan serpihan. Deleuze dan Guattari akan menyebut mereka bricoleurs.

Baca Juga: Cinematic Video Competition Promosi Wisata Ala Tanah Laut

Kesenian, sebagaimana kehidupan, merupakan usaha manusia memungut potongan-potongan yang tercecer di semesta. Kita lazim mengenal kebenaran sebagai seorang dewi yang tumbuh dari kepala Bapanya.

Namun, kita juga tahu bahwa tubuh nyata lahir dari rahim ibunya beserta darah dan rasa sakit. Kapan kita bisa mendapat kesempatan secara jujur menikmati kekejian ini? Sekarang.

Kedua seniman perempuan ini secara gamblang dan terus terang memperagakan betapa tubuh dan kehidupan perempuan dibangun dari kepingan dan pecahan. Di sini kita tidak melihat kemulusan tubuh perempuan yang berbaring anggun pada sisinya menikmati untaian anggur.

Baca Juga: ITMP Siapkan Manado, Likupang, dan Bitung Jadi Destinasi Superpriority

Di sini kita melihat perempuan yang secara tidak senonoh mengangkang. (Mengapa ini tidak pantas? Bukankah dari situ kita semua berasal? Hendakkah kita melupakan yang melahirkan kita?) Sebuah semangka yang terpotong tergeletak tidak pada tempatnya.

Di sini kita melihat tubuh perempuan dalam pose yang canggung, tubuhnya terpilah, organ-organnya terpisah satu sama lain

Di sini kita melihat kesenian yang bukan “karya” karena setelah warna berhenti disapukan pada satu potong kanvas ia pindah ke kanvas lain, mengulang tindakannya yang sama dengan cara yang berbeda. Setelah pensil berhenti mengguratkan garis pada kertas, pisau datang menoreh. Lalu, kepingan-kepingan itu, yang menolak selesai, bertemu satu sama lain dengan berbagai cara, dari arah yang beragam, untuk, mungkin, sementara menjadi peristiwa.

Baca Juga: Workshop Gambar Model Pesona Mojang Priangan

Ironisnya, dalam setiap perjumpaan, sekecil apapun, selalu ada jarak, selalu ada rumpang. Sela ini dapat dikatakan titik temu, sebuah lokus justru karena absennya. Pada sebuah teks, dalam sebuah jalinan serat-serat, sela-sela ini adalah ciri utama. Celah-celah ini merupakan peluang. Penubuhan citra yang lahir dari Arti Sugiarti dan Deborah Ram Mozes ini penuh dengan sela-sela.

Julia Kristeva menyebutnya chora, ranah tempat beradanya yang tak terlihat dan tak terujar, yang tak sudi kita lihat dan tak sudi kita ujarkan. Ini tempat dibuangnya darah nifas dan haid dari ingatan dan perbincangan kita.

Namun, ini juga tempat perempuan menari dalam keheningan. Chora adalah wilayah chorus merapal mantra di tepi panggung, ruang koreografi menjelajah gerak. Chora adalah kehampaan menggigil genting di atastitian dibelah tiga belas. Ke situ beragam warna yang disapu Arti Sugiarti menyusup, dan ke situ pula garis-garis monokromatik yang ditarik Deborah Ram Mozes berlarian.

Baca Juga: Meninggal Dunia, Aktor James Bond Sir Sean Connery

Ini adalah momen genting. Pada saat ini kita semua terpaksa mengakui betapa rapuhnya kehidupan dan betapa rentannya tubuh kita. Kita kini senantiasa harus menyadari betapa tubuh kita, jaringan biologis ini, penuh celah-celah tempat kematian masuk dan menjadi bagian padu setiap helaan napas.

Namun, pada saat ini pula kita telah menciptakan ruang baru di atas dan di antara gelombang elektromagnetik. Kepingan-kepingan yang dihadirkan Arti Sugiarti dan Deborah Ram Mozes pun beranjak ke sana, dan menemukan cara berjumpa yang belum banyak dijelajah seniman lain. Semoga di sini dan di situ ditemukan momen mereka. Jika kita semua berkenan bergabung dengan mereka, ini adalah saat kita.(Ari J. Adipurwawidjana/Kurator seni rupa)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler