Paradigma Tata Ruang Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS)

- 27 Oktober 2020, 18:51 WIB
PEMBANGUANAN di kawasan perbukitan Bandung Utara mengakibatkan daerah tangkapan dan resapan air semakin berkurang hingga mengakibatkan air dari kawasan perbukitan cepat meluncur ke wilayah perkotaan.***
PEMBANGUANAN di kawasan perbukitan Bandung Utara mengakibatkan daerah tangkapan dan resapan air semakin berkurang hingga mengakibatkan air dari kawasan perbukitan cepat meluncur ke wilayah perkotaan.*** /Heriyanto Retno/Igun Weishaguna

 

PORTAL BANDUNG TIMUR.-

Kota Bandung sebagai inti Pusat Kegiatan Nasional (PKN) perkotaan Cekungan Bandung, sangat berkepentingan dengan kelestarian zona resapan air Kawasan Bandung Utara (KBU). Sebanyak 86,95 % dari 46 sungai yang melintasi Kota Bandung, berhulu di KBU dan 66,7% dari 12 Daerah Aliran Sungai (DAS) itu berpotensi mengancam vitalitas kawasan-kawasan strategis di Kota Bandung.

Sungai Cikapundung yang berhulu di Kaki Gunung Bukittinggul Cibodas Lembang, merupakan DAS paling strategis di Wilayah Pengembangan (WP) Barat Kota Bandung. DAS ini terdiri dari 4 buah sungai orde ke-3 dan 5 buah sungai orde ke-4. DAS ini meliputi 10 kecamatan dan 46 Kelurahan atau hampir sepertiga luas Kota Bandung sekarang.

Betapa strategisnya DAS Cikapundung ini terhadap vitalitas Kota Bandung. Beberapa elemen penting skala nasional, propinsi dan kota, seperti kawasan perdagangan dan jasa di Pusat Kota Bandung sekitar alun-alun, Stasiun Besar Bandung, Balai Kota Bandung, kawasan perkantoran Gedung Sate, 6 perguruan tinggi besar, 3 kawasan strategis ekonomi kota (KSK), kawasan militer, kawasan heritage, gedung-gedung perkantoran, perhotelan, pusat perdagangan dan berbagai elemen penting lainnya berada di DAS ini.

Baca Juga: Hujan Lebat Berkepanjangan Akibat Banjir dan Tanah Longsor Tanggul Jebol di Kebumen

Debit banjir Sungai Cikapundung saat ini, diperkirakan mencapai 250 m2/detik. Bisa dibayangkan! Jika kerusakan lingkungan di KBU tidak segera ditangani, maka bukan tidak mungkin  banjir bandang sungai-sungai ini dapat melumpuhkan aktivitas kota dan memberi dampak kerugian yang sangat besar.

Rehabilitasi DAS Cikapundung mulai dari hulu  hingga hilir secara terpadu, tentu menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Suksesnya program Citarum harum pun sangat tergantung pada gerakan ini, dimana Sungai Citarum merupakan salah satu sungai terkotor di dunia, yang 80,9% atau 2.3 dari 2.84 parameter DO pencemaran airnya berasal dari Cikapundung.

Di Wilayah Pengembangan (WP) Timur, rencana pembangunan pusat Kota Bandung kedua di Gede Bage, juga sangat tergantung pada kelestarian KBU. Eksistensi mega proyek teknopolis yang ditunjang oleh beradaan kereta api cepat Bandung-Jakarta, rencana pusat kantor dagang Asia (New Sillicon Valley Asia), rencana terminal terpadu berkonsep Transit Oriented Development (TOD), rencana MRT Bandung Raya, rencana pusat pemerintahan Kota Bandung bahkan mesjid Jawa Barat sebagai icon kawasan pun, terancam berantakan oleh ancaman banjir bandang.

Baca Juga: PT Rajawali Nusantara Indonesia Membuka Lowongan Pekerjaan

Wilayah Gede Bage berada dititik terendah Kota Bandung yaitu 650 m dpl. Saat ini, diserbu banjir kiriman sekurang-kurangnya 245,86 m3/detik debit banjir dari dua DAS yaitu DAS Cipamokolan (>188,96 m3/detik) yang berhulu perbukitan Cimenyan dan dari DAS Cinambo (>54,9 m3/ detik) yang berhulu di Gunung Palasari dan Manglayang.

Saat hujan turun, lebih dari 300 Ha Bandung Timur tergenang banjir. Kita dapat merasakan kemacetan dimana-mana. Lalu lintas pun lumpuh berjam-jam.

Bukan hanya itu, bencana banjir bandang yang terjadi di Cicaheum tanggal 20 Maret 2018, Pasir Jati tanggal 10 Februari 2019 dan di Cijambe tanggal 1 April 2019 lalu, bisa jadi indikasi semakin meluasnya area dan dahsyatnya banjir ke wilayah-wilayah yang selama ini tidak tercatat sebagai zona banjir sekaligus indikasi bertambahnya kerusakan zona resapan air di KBU.

Baca Juga: Fiksi 2020 Cikal Bakal Lahirnya Wirausahawan Muda Indonesia

Kota Bandung sebenarnya sudah menginisiasi berbagai cara menangani banjir. Setidaknya, ada Rencana Induk Drainase Kota yang disusun sejak 10 tahun yang lalu, dimana data dan analisisnya bersifat eco-region meliputi hulu - hilir DAS.

Namun batas administrasi wilayah sering menjadi hambatan teknis pelaksanaan program penanganan banjir secara terpadu itu. Akhirnya penangan banjir  sampai saat ini, hanya bisa berkutat pada perbaikan sistem drainase kota, kolam retensi, tol air dan biopori tanpa bisa menyentuh bagian terpenting penanganan yaitu mencegah banjir sejak dari sumbernya di zona hulu tangkapan air.

Sekat batas wilayah administrasi juga sering menjadi pangkal penyebab saling lemparnya tanggung jawab. Terutama persoalan tata ruang di KBU. Seolah penggalan kewenangan itu menjadi faktor diskriminan polemik kemampuan masing-masing daerah dalam membuat perencanaan, keseriusan menegakan aturan izin pemanfaatan ruang, pembiayaan program dan intensitas pelaksanaan monitoring pengendalian daerah aliran sungai (DAS).

Baca Juga: Hujan Ringan Guyur Kota Bandung dan Sekitarnya, Waspadai Angin

Di lain pihak, Perda No.2 tahun 2016 tentang Pengendalian KBU sebagai Kawasan Strategis Propinsi Jawa Barat, tidak cukup menjadi pijakan penanganan banjir. Begitupun dengan rencana pembentukan Badan Otoritas KBU. Keduanya berkerja efektif pada paradigma tata ruang horizontal atau terbatas pengendalian di zona hulu saja.

Sementara yang dibutuhkan untuk menangani banjir adalah paradigma tata ruang yang bersifat vertikal berbasis DAS yaitu terpadunya eco-region zona hulu-hilir berbasis prinsip "one rivers area - one planning - one management."

Dalam rangka menjamin tujuan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan keberlanjutan bagi fasilitas-fasilitas strategis skala nasional, propinsi dan kota, serta mengefektifkan pelaksanaan program penanganan banjir dengan pendekatan tata ruang berbasis DAS, maka Kota Bandung harus berani memperluas Wilayah administrasinya ke beberapa kecamatan di KBU yang menjadi hulu sungai-sungai Kota Bandung.

Baca Juga: Masih Ada Kesempatan Pelaku UMKM Dapat Bantuan, Ini Caranya

Paradigma Tata Ruang Kota Bandung berbasis DAS,  sebenarnya bukan gagasan baru. Jauh sebelum Bandung menjadi kota metropolitan, sepuh Sunda baheula, telah mengamatkan Uga Bandung :

"Sunda nanjung lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui."

 Interpretasi sederhananya, bahwa Sunda atau Tatar Jawa barat akan juara, jika warga Bandung sudah kembali peduli pada kelestarian hulu Cikapundung.

Baca Juga: RW Siaga, Kreatif dan Inovatif Berhasil Mengangkat Warganya

Kearifan lokal ini tidak lain adalah inti sari Tata Ruang berbasis DAS, dimana sungai menjadi elemen penting integrasi trilogi ruang urang Sunda yaitu buana nyungcung (zona hutan lestari, konservasi hulu resapan air), buana panca tengah (zona budidaya, pemanfaatan air) dan buana larang (zona limpasan air yang harus bersih).

Tahun 1917, DR. W. Docters van Leeuwen memprakarsai ‘Soenda Openluncht Museum’ atau Museum Alam terbuka Sunda yaitu kawasan konservasi alam dan tinggalan-tinggalan sejarah di perbukitan Utara Kota Bandung (sekarang KBU).

Prinsip-prinsip dasar yang digagas komite perlindungan alam Bandung pada jaman kolonial ini, sama dengan gagasan Tata Ruang berbasis DAS, dimana keberadaan air dilindungi oleh hutan dan kelestarian hutan dilindungi oleh tinggalan nilai-nilai kearifan budaya lokal. Trilogi Air-hutan -budaya.(Igun Weishaguna/Dosen Perencanaan Wilayah & Kota Unisba)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x