Terebang Rudat Toleransi Agama Islam dan Kebudayaan Daerah

- 1 November 2020, 15:35 WIB
SALAH satu kelompok kesenian Terebang Rudat dari Dusun Wage, Desa Kaliaren Kec. Cilimus Kab. Kuningan ditampilkan UPTD Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Barat beberapa waktu lalu.***
SALAH satu kelompok kesenian Terebang Rudat dari Dusun Wage, Desa Kaliaren Kec. Cilimus Kab. Kuningan ditampilkan UPTD Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Barat beberapa waktu lalu.*** /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Sungguh menarik menyimak silsilah sejarah masuknya agama Islam dari sejumlah sesepuh di pedusunan Wage, Desa Kaliaren Kec. Cilimus Kab. Kuningan.

Mereka dengan sangat fasih bercerita tentang kehadiran Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati ke wilayah Kuningan yang sebelumnya menganut kepercayaan Sunda Buhun dan Hindu.

Kuwu Kali Aren, H. Didi Sadiry bercerita bahwa berdasarkan naskah Parahyangan, Kuningan pada masa lalu merupakan sebuah kerajaan yang dipimpin Seuweukarma bergelar Rahiyang Tangkuku yang menetap di Arile atau Saunggalah.

Baca Juga: Sosok Pria Terkaya di Asia, Mukesh Dhirubhai Ambani

Pada masa itu kepercayaan yang dipegang adalah Dangian Kuning dengan Sanghiyang Darma sebagai kitab suci dan Sanghiyang Riksa sebagai pedoman hidup.

Ditangan Seuweukarma, masa kejayaan Kuningan sama dengan Kerajaan Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor). Wilayah kekuasaan tidak hanya daerah sekitar, tetapi juga hingga Melayu, Tuntang, Balitar, dan daerah lainnya, hingga menyandang gelar Rajaresi atau pemimpin pemerintahan dan sekaligus ahli agama (resi), yang dalam sejumlah naskah kuno tercatat hanya tiga orang Rajaresi di Jawa Barat, yaitu Resi Seuweukarma dari Saunggalah Kuningan, Resi Manikmaya dari Kerajaan Kendan ( Cicalengka Kabupaten Bandung) dan Resi Niskala Wastu Kencana dari Galuh Kawali Ciamis.

Kehadiran Syeh Syarif Hidayatullah ke Luragung, Kuningan pada tahun 1481, disambut dengan sukacita Ki Gedeng Luragung yang masih ada kaitan saudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon.

Baca Juga: Leuweung Arcamanik; Model Hutan Konservasi Kawasan Bandung Utara Berbasis Kearifan Lokal Sunda

Ajaran Islam di Kuningan semakin berkembang dengan lahirnya Pangeran Kuningan dari istri Syeh Syarif Hidayatullah yang berasal dari Tiongkok, Ratu Ontin Nio.  Dan Islampun semakin berkembang setelah Pangeran Kuningan beranjak dewasa  dinobatkan menjadi Adipati Kuningan 1 September 1498 Masehi.

“Hal yang patut diteladani dari ajaran Islam yang disebarkan oleh Syeh Syarif Hidayatullah di Kuningan adalah Islam mampu seiring sejalan dengan budaya setempat. Seperti saat raja Kuningan Seuweukarma mempimping dimana Sanghiyang  Darma dan Sanghiyang Riksa saling berdampingan. Dan itu terjadi hingga kini,” terang Kuwu Kali Aren, H. Didi Sadiry.

Salah satunya adalah kesenian Terebang Rudat, yang hingga saat ini menjadi kesenian wajib yang harus ditampilkan setiap perayaan ataupun peringatan keagamaan. Seperti kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada Kamis 29 Oktober 2020, namun hingga kini tradisi Muludan disejumlah pesolok daerah masih berlangsung.

Baca Juga: Tingkatkan Kualitas Pariwisata di Bali Kemenparekraf Lakukan Revitalisasi

Memang sejak Desa Kali Aren mentasbihkan diri sebagai Desa Budaya, kesenian Terebang Rudat, tumbuh bak jamur dimusim hujan. Kesenian yang sudah ada sejak masa pemerintahan Islam menyebar di Kuningan dan dijadikan sarana syiar agama Islam di Kabupaten Kuningan, khususnya Kecamatan Cilimus sangat mudah ditemui hampir di setiap pedusunan.

Kesenian yang berisikan doa, pujian dan kisah Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, yang awalnya tumbuh berkembang di pesantren, di masyarakat Kuningan mengalami perkembangan dan pergeseran menjadi sarana hiburan.

Syair nadhom dalam kitab Iqd al-Jawahir (kalung permata)yang lebih dikenal Al-Barzanji atau Berzanji, tidak lagi hanya dipertunjukan pada waktu tertentu berdasar kalender Islam seperti Muludan, menjelang dan sesudah Idul Fitri dan Idul Adha, ataupun tradisi masyarakat. Tapi kesenian Genjring atau Terebang Rudat juga ditampilkan dalam acara seremonial yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat.

Baca Juga: Pembangunan RSUD Dr Soedarso Diapresiasi Sekjen Kementerian Kesehatan

Seperti pada kegiatan yang diinisiasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat melalui UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat, beberapa waktu lalu, kesenian Genjring Rudat yang disuguhkan merupakan dalam konsep menghibur.

“Ini yang menjadikan kami (UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat) untuk menampilkan kesenian rudat nantinya dalam bentuk virtual yang ditayangkan disejumlah media daring, karena konsep pertunjukannya yang disuguhkan sangat berbeda dan cukup menghibur,” ujar Kepala Seksi Pertunjukan Seni Budaya, Iwan Gunawan.

Namun meskipun pertunjukan pada malam itu hanya untuk pengambilan gambar dengan menerapkan protokol kesehatan, tapi antusias masyarakat tidak dapat ditahan. Masyarakat dari berbagai lapisan usia berdesakan ingin menyaksikan. Sebuah peristiwa budaya sangat langka dimana pertunjukan seni tradisi masih sangat diapresiasi oleh masyarakat sebagai pemiliknya.

Baca Juga: Kenapa Pemain Inggris Dihargai Begitu Mahal

Kesenian Genjring Rudat atau Terebang Rudat sendiri merupakan kesenian melantunkan doa dan pujian yang ditujukan untuk Nabi Muhammad SAW serta keluarga dan para sahabat, juga cerita tentang Nabi Muhammad SAW yang diambil dari kitab Maulid, “Iqd al-Jawahir”, karangan Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji (1690-1766 M), seorang sufi kelahiran Madinah Al-Munawwaroh.

Kitab Maulid Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Terbagi atas Natsar terdiri 19 sub bagian memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir bercerita tentang Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Dan bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Kitab Maulid Al-Barzanji sendiri merupakan Syaikh Ja’far bin Husin yang memenangi sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa indah yang di prakarsai Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi pada peringatan Maulid Nabi pertama kali tahun 1184 (580 H) untuk membangkitkan semangat umat Islam dalam menghadapi Perang Salib. Dan terbukti, Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, hingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem dapat kembali direbut dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah