Berburu Bungkreung Menjaga Tradisi Ngabedahkeun Balong di Cianjur

17 Mei 2021, 10:14 WIB
Tradisi ngabedahkeun balong yang masih terjaga di Kabupaten Cianjur menjadi kegiatan menarik untuk memanen ikan bungkreung dan udang air tawar yang kian langka dan bernilai jual. /Foto : Istimewa

PORTAL BANDUNG TIMUR - Indonesia sebagai negara kepulauan yang diberkahi dengan beragam bahasa, suku, adat istiadat, budaya dan tradisi. Maka pasti kita sudah paham dengan banyaknya keberagaman di Indonesia ini dari mulai bahasa, suku, adat istiadat, budaya dan tradisi.

Dari tradisi-tradisi di setiap daerah mencerminkan identitas dari daerah itu sendiri. Karenanya, tradisi harus dijaga dan dilestarikan guna untuk mempertahankan identitas tradisi yang telah diturunkan secara turun-temurun sejak dulu kala.

Di Jawa Barat, suku Sunda tentunya juga memiliki beberapa tradisi yang masih dijaga hingga saat ini diantaranya ada tradisi ngahuripan, tradisi nyawer panganten dan salah satunya lagi ada tradisi ‘ngabedahkeun balong’.

Balong dalam bahasa Indonesia memiliki arti kolam untuk proses budidaya ikan. Di masyarakat Sunda tentunya sudah sangat kenal dengan kata balong ini terlebih bagi masyarakat pedesaan yang berdekatan dengan sawah-sawah.

Baca Juga: Dihentikan, Pendistribusian dan Pemakaian Vaksin AstraZeneca

Tidak jarang pula bahkan rumah-rumah mereka berdekatan dengan balong yang mereka miliki. Seolah-olah balong sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sunda. Balong sendiri ada balong yang dipakai untuk ladang usaha, ada balong yang hanya sekedar dijadikan tempat untuk ikan-ikan konsumsi.

Untuk jenis ikannya sendiri, banyak jenis ikan yang biasa dipelihara diantaranya ada ikan nila, ikan mas, ikan gurame, tawes, lele, bawal dan bahkan ikan hias lokalan. Hal uniknya adalah ketika hari panen atau yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan kata ‘ngabedahkeun’ yakni hari panennya ikan di balong dengan waktu yang telah diperhitungkan.

Pada saat balong dibedahkeun dengan cara membuang air untuk menangkap ikan, sang pemiliki balong atau pengelola balong menangkap ikan yang telah ditanamnya. Tradisinya adalah bukan hanya pemilik balong saja yang turun ke balong saat panen, melainkan sanak-saudara, dan tetangga dari masyarakat sekitarpun bisa ikut turun ke balong.

Pada pagi hari  panen, masyarakat berbondong-bondong dengan peralatan sederhana untuk menangkap ikan seperti ember dan jaring kecil atau saringan (ayakan). Karena bahwasannya sudah menjadi tradisi untuk ikut serta menangkap ikan-ikan yang tak bertuan, ikan tak bertuan ini dimaksud kepada ikan yang tidak sengaja ditanam seperti ikan bungkreung, udang, dan tutut.

Baca Juga: Muhadjir Effendy, Mudik Turun Signifikan Namun Bukan Berarti Efektif

Hal ini sudah lumrah dilakukan sehingga setiap ada balong yang panen masyarakat dari mulai anak-anak, ibu-ibu atau bapak-bapak yang ingin mengambil ikan tak bertuan datang dengan ramai, siapapun boleh menangkan ikan tak bertuan itu sehingga ikan tersebutlah yang menjadi sasaran mereka dalam peristiwa ‘ngabedahkeun balong’.

Hal ini terjadi di Desa Hegarmanah, Cianjur. Namun selain di Cianjur banyak juga daerah-daerah lain di Jawa Barat yang memiliki tradisi seperti ini, contoh lainnya yaitu di beberapa tempat pedesaan di Sukabumi.

Terlebih pada saat masa pandemi sekarang, pembelajaran di sekolah menjadi pembagian shift masuk atau bahkan pemmberian tugas. Hal tersebut menjadikan anak-anak tidak harus menunggu waktu libur untuk ikut serta turun ke balong pada saat acara ‘ngabedahkeun balong’ tersebut.

Menurut penuturan Ovi (11), Syifa (9) dan Azizah (10) yang merupakan anak-anak paling aktif mengumpulkan ikan bungkreung dan udang. Mereka mengumpulkan dari balong ke balong yang sedang panen, dikumpulkan ke wadah ember hingga menjelang siang.

Baca Juga: Banjir Landa Kecamatan Mentarang Hulu Kabupaten Malianu Kalimantan Utara

Setelah terkumpul, mereka menjual hasil tangkapannya ke tengkulak ikan dan udang yang mana dijual dengan harga Rp. 17.000/kg untuk ikan bungkreung dan Rp. 12.000/kg untuk udang. Pada satu harinya mereka bisa menjual 1-3 kg ikan bungkreung dan 1-2 kg udang.

Bisa dikatakan pada sehari ikut turun ke balong mereka berhasil mengantongi uang Rp. 20.000-Rp. 50.000, bahkan penghasilan tertinggi masing-masing dari mereka bisa mencapai Rp.100.000 sehari jika hasil tangkapannya banyak.

Namun tidak semua hasil tangkapannya dijual mereka menyisihkannya sebagian untuk dikonsumsi oleh keluarga mereka sendiri. Ovi (11) menuturkan yang didapatkan bisa dipakai mereka untuk jajan, disimpan untuk hal yang diinginkan agar tidak meminta uang kepada orang tua.

Selain Ovi (11) dan teman-temannya, masih banyak anak-anak lain juga yang melakukan hal tersebut, maka dari itu setiap pagi jika ada balong yang dipanen maka akan ramai anak-anak untuk ikut turun ke balong. 

Baca Juga: Hari Senin Ini Mangkir, ASN Pemkot Bandung Harus Siap Terima Sanksi

Dari sisi pemilik, atau pengelola balong sendiri tidak begitu mempermasalahkan hal ini. Walau terkadang di beberapa kesempatan anak-anak ini agak menghambat, namun tidak dipermasalahkan karena inilah kebiasaan yang terjadi di desa ini.

Justru jika pada saat panen balong, tetapi tidak anak-anak atau ibu-ibu yang ikut turun rasanya seperti aneh karena terasa sepi karena peristiwa ngabedahkeun balong itu sendiri lebih kepada peristiwa sosial yang telah menjadi budaya dengan melibatkan beberapa dari masyarakat.

Sebuah tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun haruslah dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai tersendiri bagi para pelaku tradisi tersebut, seperti tradisi yang dilakukan pada saat ‘ngabedahkeun balong’ memiliki nilai kebersamaan yang kuat antar masyarakat. (hanifa rahmiati)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler