Tinjauan Geo-Historis Kaulinan Tradisional Kota Bandung

25 November 2020, 15:00 WIB
PERMAINAN tradisional bebedilan dengan bahan bambu dan peluru dari buah-buahan atau biji-bijian mampu menciptakan anak berimajinasi dan mengasah kreatifitas. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Dalam memahami Kaulinan Kota Bandung, akan sangat mendasar jika mulai dari kajian geo-historis sebagai faktor geografis yang menentukan aneka corak kebudayaan. Menurut geo-historisnya, Kota Bandung terbagi menjadi tiga klasifikasi geo-historis kebudayaan.

 

Pertama, Manglayang Schol. 

Formasi geografi limpasan gunung api tua berupa  bongkahan batu-batu besar atau dalam toponomi Sunda disebut Hujungwhurung kemudian mengalami pergerseran menjadi Oedjoengbroeng. Tipologi ini cenderung mendasari kebudayaan megalitik pra sejarah Bandung Utara bagian timur.

Sifat alamnya cenderung lebih keras, maka pada fase berikutnya akan menstimulasi tumbuh sumburnya corak kebudayaan dan permainan tradisional yang relatif lebih keras, seperti permainan ujungan, benjang, dogongan, seredan, dan panciran.

Bukan hanya permainan, bahkan corak musik khas Oedjoengbroeng yang mendunia pun justru beraliran keras seperti musik metal Ujungberung Rebels dan karinding metal.

Baca Juga: DTKS Kebijakan Prioritas Nasional

Ada indikasi kuat toponomi Oedjoengbroeng, selain sebagai istilah geografis khusus, juga berasal dari nama Ujungprung yang berarti permainan (prung) ujungan.

Beberapa folklor dan telaah babad wana datar, menguatkan indikasi bahwa Ujungberung merupakan nama tempat di tepi Sungai Citarum (Ujung / batas Wilayah Kendan dan Tarumanagara abad ke-6 Masehi).

Yang digunakan untuk adu tanding permainan ujungan berbagai jawara dalam rangka meredam konflik yang lebih besar antara kedua kerajaan tersebut. Tradisi adu permainan Ujungan ini berlanjut hingga periode Kerajaan Galuh - Sunda.

Baca Juga: Dalam Dua Pekan, 10 Wilayah Kecamatan Bertahan Tertinggi Kasus COVID-19 di Bandung 

Fakta yang paling meyakinkan bahwa Oedjoengbroeng adalah pusat kebudayaan tradisional tua, bersumber dari peta kuno Kerajaan Timbanganten tahun 1560 dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya karya Prof. Denis Lombard.

Peta sesaat Kerajaan Pajajaran runtuh ini memuat toponomi Oedjoengbroeng yang termasuk Wilayah Medang (Wilayah otonomi khusus untuk konservasi tempat spiritual bersama).

Fakta lain bersumber Peta kuno abad ke-17 Masehi dan Peta Negorij Bandung 1726, juga meyakinkan Oedjoengbroeng adalah pusat kebudayaan tradisional tua yang sudah ada jauh sebelum Kota Bandung lahir 1810.

Baca Juga: Masih, Puluhan Warga Terjaring Operasi AKB

Peta-peta tua ini masih menunjuk letak Kampung Oedjoengbroeng berada di dekat gunung Manglayang tidak jauh dari Kampung Garung yang secara toponomi berarti meraung kesakitan. Hal ini diduga kuat sebagai jejak-jejak tempat arena permainan ujungan tersebut.

Bukan tidak mungkin permainan dogongan, seredan dan panciran juga sudah berkembang sebagai seni buhun yang diiringi alat tradisional tua yaitu dog-dog. Sampai saat ini, permainan ujungan masih digelar dalam acara Syukuran Lembur adat Pasangrahan Ujungberung.

Sejak kebijakan tanam VOC abad ke-18 Masehi, berlanjut wajib tanam kopi oleh pemerintah kolonial Bataf Perancis, diteruskan oleh kolonial Inggris 1813 dan akhirnya tanam paksa kolonial Belanda 1830, terjadi urbanisasi besar-besaran migran buruh tani dari Wilayah Cirebon yang membawa kebudayaannya ke Wilayah Oedjoengbroeng.

Baca Juga: Menjamin Ketersediaan Energi Pemerintah Menyusun Grand Strategi Energi Nasional.

Faktor alam yang lebih keras, eksistensi pekerja buruh dalam atmosfir tanam paksa turut menstimulasi tumbuh suburnya benjang gelut sebagai representasi baru permainan khas Oedjoengbroeng yang lahir dari budaya perkebunan.

Peta 1857 menunjukan District Oedjoengbroeng Wetan yang beribu kota di sekitar Alun-alun Ujungberung  sekarang sebagai pusat kontrol perkebunan. Sampai saat ini permainan benjang masih medarah daging bagi warga pribumi Oedjoengbroeng.

 

Kedua Pulosari Schol 

Formasi geografi hasil gunung api tua tak teruraikan. Formasi ini cenderung mendasari lahirnya kebudayaan neolitik pra sejarah Bandung Utara bagian Barat. Sifat alamnya lebih lebih subur dan tenang memungkinkan pada fase berikutnya muncul kampung-kampung tua berbudaya agraris.

Baca Juga: Lebih dari 30 Jembatan Gantung Dibangun Kementerian PUPR di Banten

Peta kuno abad ke-17 dan peta 1726, menunjuk nama Cikeling yang diduga kuat adalah Pusat Kerajaan Arcamanik. Beberapa folklor dan sumber kajian ilmiah menunjukkan bahwa corak kebudayaan kerajaan Arcamanik cenderung bersifat spiritual.

Jenis kesenian yang lahir pun cenderung lebih halus dengan munculnya pusat Karawitan Kerajaan Arcamanik di Sekekondang (Sekarang Pasir Impun Kecamatan Mandala Jati Kota Bandung).

Jenis kaulinan yang tumbuh pun cenderung bersifat permainan halus memanfaatkan ruang buruan imah, lapangan puseur lembur, walungan, kebon milik pribadi seperti kaulinan ucing sumput, paciwit-ciwit lutung, wayangan, jajangkungan dan lain-lain.

Baca Juga: Revolusi Industri Jilid ke-4 Era Digital Tidak Bisa Dihindari

Sangat tepat, jika Komunitas Hong yang berkedudukan di bukit Pakar Utara Ciburial Cimenyan Kabupaten Bandung menjadi barometer atau representasi pusat kaulinan yang bersifat halus, karena geo-historis kebudayaannya mendukung.

 

Ketiga, Ex-Situ Hyang (Bekas Danau Bandung Purba)

Formasi geografis dataran tanah aluvial endapan Danau Bandung Purba berupa genangan air rawa dan sawah yang kemudian pada fase berikutnya mengering menjadi lahan perkotaan. Secara toponomi, di zona ini banyak dijumpai nama tempat menggunakan istilah ci, ranca dan sawah.

Maka kebudayaan dasarnya pun menunjukan gejala transformasi budaya sawah ke budaya perkotaan modern. Dalam historis Tatar Ukur, disebutkan wilayah ini menjadi lumbung padi dan markas pasukan Mataram untuk menyerang VOC di Batavia.

Baca Juga: Sepanjang Pagi dan Malam Bandung Cerah Berawan

Banyak permainan rakyat yang diiringi nyanyian kritik terhadap penjajah seperti ayang-ayang gung sebagai pembuka permainan tradisional.

Kota-kota modern pusat pengorganisasian sumber daya pertanian pun berkembang pesat seperti halnya Kota Bandung tahun 1810 yang pada awalnya distimulasi oleh kolonial stad. Transformasi Kebudayaan pun cenderung sejalan dengan fase perkembangan kota yaitu tradisional-kolonial (1810-1900), tuid atas gemeente Bandung (1900-1945) dan kota kontemporer (pasca kemerdekaan).

Banyak permainan yang juga berkembang dari pengaruh adaptasi permainan tradisional dengan permainan masyarakat eropa  seperti permainan zondaag maandag (bahasa Belanda) berawal dari permainan anak-anak Inggris,  dalam bahasa setempat menjadi sudah manda, sonlah atau engklek. (Igun Weishaguna/penulis, Ketua Komunitas Wallagri)***

 

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler