Leuweung Arcamanik; Model Hutan Konservasi Kawasan Bandung Utara Berbasis Kearifan Lokal Sunda

31 Oktober 2020, 22:12 WIB
HUTAN bambu Arcamanik dilihat dari Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung yang secara perlahan dibeberapa petak atau blok mulai ditanami kopi dan kebun sayuran masyarakat.*** /Heriyanto Retno/

 

PORTAL BANDUNG TIMUR

Sangat beruntung Kawasan Bandung Utara (KBU) memiliki Desa Mekarmanik yang lebih dari 50%  luas wilayahnya atau lebih dari 600 Ha berupa hutan. Hal paling istimewa, hutan Arcamanik dan perkampungan penyangganya, masih menjalankan prinsip konservasi alam dan budaya Sunda.

Dalam ungkapan masyarakat Sunda, gunung teu meunang dilebur, lebak teu menang diruksak, larangan teu meunang di­rempak, buyut teu meunang dirobah.

Gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumatan, pasir talunan, lebak caian, sampalan kebonan, walungan rawatan, legok balongan, daratan sawahan, situ pulasaraeun, lembur uruseun, basisir jagaeun. Budaya Pasundan jadikeun pameungkeut pageuh karahayuan.

Baca Juga: Meninggal Dunia, Aktor James Bond Sir Sean Connery

Keberadaan infrastruktur kearifan lokal di sekitar hutan Arcamanik berupa : tingggalan peradaban pra sejarah mata air Cisitu Hyang, Situs purba Culamega, tinggalan sumber air kabuyutan Cikeling, tinggalan peradaban kerajaan Arcamanik di Bukit Ninimarak (temuan Patung Ciwa, Durga, alas oleh Van Verbeek), Pasangrahan atau parabonan Arcamanik yang dilengkapi ekstensi Leuweung karamat, 500 Ha hutan jejak kejayaan budidaya kopi blok Rasa Galor yang awal abad ke-19 Masehi pernah mendunia, serta masih membuminya nilai-nilai adat kesundaan dalam mentalitas warganya. Semua ini merupakan keistimewaan daya imun  yang tidak ditemukan di Kawasan Konservasi Bandung Utara Lainnya.

Sungguh sangat layak, jika Kawasan Hutan Arcamanik dan perkampungan penyangganya dijadikan pemodelan tata ruang KBU berbasis konservasi kearifan lokal. Setidaknya ada 3 Konsep Leuweung :

Leuweung Tutupan

Tingkatan leuweung (hutan) pertama. Tingkatan nilai konservasi tertinggi. Hutan konservasi Arcamanik ini masih memiliki hutan lindung yang selama ini disebut leuweung adat atau Leuweung karamat atau Leuweung larangan atau Leuweung tutupan, dimana siapaun tidak bisa serta merta memasuki apalagi mengambil kayunya.

Baca Juga: Project Big Picture: Masa Depan Premier League atau Upaya Enam Klub Besar Menguasai Liga?

Di zona ini masih terdapat sumber-sumber air alami yang masih asli berupa mata air (seke) dan genangan / tanah basah/ situ kecil. Hutan lindung ini berada di puncak dan lereng terjal Gunung Palasari serta pasir Malang.

Leuweung Titipan

Tingkatan leuweung kedua. Leuweung Titipan. Dimana warga atau masyarakat umum atau institusi menitipkan sejumlah pohon untuk kepentingan utamanya yaitu konservasi, penelitian, edukasi keragaman hayati, dan nilai adat menanam pohon titipan untuk generasi masa yang akan datang.

Secara eksisting, berupa hutan Penelitian Arcamanik seluas kurang lebih 19 Ha sebagai habitat keramaganan hayati 22 jenis bambu (Leuweung awi).

Baca Juga: Cinematic Video Competition Promosi Wisata Ala Tanah Laut

Hal yang tidak kalah istimewanya, disini pun terdapat adat yang dilakukan oleh warga untuk menjaga kelestarian Leuweung titipan ini. Terdapat pula situs Parabonan Arcamanik. Pada tingkatan ini masih memungkinkan wisata minat khusus riset, edukasi konservasi alam dan situs.

Leuweung Garapan

Tingkatan leuweung ketiga. Leuweung garapan. Kurang lebih 500 Ha hutan pinus di Arcamanik merupakan tinggalan jejak perkebunan kopi blok Rasagalor yang awal abad ke-19 pernah mendunia. Sampai saat ini lebih dari 400 ton pertahun biji kopi dihasilkan.

Namun hampir seluruhnya dimonopoli tengkulak. Petani yang sebagian besar tinggal di wilayah perkampungan penyangga hutan menjadi kaum marginal yang rawan ekonomi. Tentu ini menjadi faktor kerawanan ekologi di zona penyangga hutan.

Baca Juga: Sejarah dan Evoulsi Logo Liga Primer Inggris

Maka konsep ruang agroforestry wajib dikembangkan demi penyelamatan kerusakan zona penyangga hutan KBU. Wisata ngopi sambil menikmati pesona keindahan alam dan sajian budaya dapat dilakukan dengan mempertimbankan keseimbangan nilai ekologi, ekonomi, sosial, dan engineering.(Igun Weishaguna/Dosen Perencanaan Wilayah & Kota Unisba)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler